Sunday, March 31, 2013

analisis struktur dan nilai cerpen ulian lacur


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Karya sastra cerpen yang berbahasa Bali merupakan suatu hasil kebudayaan/karya sastra orang Bali yang dianggap mampu memberikan cerminan atau pegangan dalam kehidupan. Teeuw dalam (Antara, 2005:1-5) mengatakan bahwa, suatu karya satra itu sebenarnya merupakan mimesis (gambaran dari masyarakat). Pendapat Beliau tidak jauh berbeda dengan tulisan Sutan Takdir Alisyahbana, Beliau mengatakan bahwa karya sastra sebenarnya merupakan cerminan kehidupan masyarakat.
Sastra daerah sebagai bagian dari kebudayaan daerah merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya. Karena sastra daerah merupakan media yang secara tidak langsung melestarikan nilai-nilai, gagasan vital serta keyakinan yang berlaku dalam masyarakat ( Santoso dalam Nuarca dkk, 1984- 1985 : 1).
Golman mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya, 1) bahwa karya sastra merupakan ekpresi pandangan dunia secara imajiner. 2) bahwa dalam usaha mengekpresikan pandangan dunia itu pengarang menciptakan semesta, tokoh-tokoh, obyek-obyek, dan relasi-relasi secara imajiner (Taum, 2003:17).
Sastra dalam fungsinya sebagai gejala kemasyarakatan dan kebudayaan. Sastra tidak dapat diteliti dan dipahami secara ilmiah tanpa mengikutsertakan aspek kemasyarakatannya, yaitu tanpa memandanginya sebagai tindak komunikasi, atau dengan istilah lain tanpa mendekati sastra sebagi tanda, sign, atau dengan istilah yang sekarang sangat luas dipakai, sebagai gejala semiotik (Hartoko, 1984:43). Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan (mimesis) gambaran dari masyarakat yang dituangkan oleh seorang pengarang dalam bentuk, novel secara imajiner.
 Karya sastra yang diciptakan oleh seorang pengarang merupakan refleksi imajinasi yang menggambarkan tentang situasi kehidupan masyarakat sekitar ataupun yang berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan dan mengandung pesan moral yang ingin disampaikan oleh sipengarang kepada masyarakat luas, karena pengarang sendiri merupakan bagian dari masyarakat, demikian pula sebagai individu.
Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sebagai karya kreatif, sastra mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia. Sehingga karya sastra merupakan salah satu hasil kebudayaan secara luas. Oleh karena, sastra merupakan hasil ciptaan manusia yang mana manusia sebagai pembuat kebudayaan, pendukung dari kebudayaan itu sendiri dan sekaligus pelestari dari apa yang telah diciptakannya (Semi, 1988:8).
            Istilah kesusastraan dibentuk dari susunan: ke-su-sastra-an. Kata sastra berasal dari bahasa sansekerta castra dimana terdiri dari dua kata cas yang artinya ajar dan tra yang artinya alat untuk. Jadi castra berati alat untuk belajar, sedangkan susastra berati isi tulisan yang indah (I Gusti Putu Antara 2008: 1)
            Kesusastraan Bali  berati segala hasil karya cipta sastra yang mempergunakan bahasa Bali sebagai media komunikasinya, dan memuat tentang kehidupan masyarakat Bali secara imajinatif (I Gusti Putu Antara 2008: 2). Kesusastraan Bali dapat dibagi atas beberapa bagian. Tergantung dari segi apa sastra itu dilihat. Sebagai gamaran umum, kesusastraan Bali dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1.      Sastra Bali Tradisional (Prosa Fiksi-Gancaran) yang terdiri dari legenda, mitos, epos, dongeng, hikayat, sastra kitab, dan tutur (ujaran rakyat) serta tahayul (kepercayaan)
2.      Sastra Bali Modern (Prosa Fiksi- Gancaran Anyar) yang terditi dari cerpen dan novel
3.      Cerita Rakyat Bukan Lisan.

Prosa sebagai salah satu genre sastra memiliki kaitan dengan kesastraan itu sendiri. Dalam kesastraan, prosa tergolong sebagai karya sastra yang disebut fiksi. Istilah fiksi dalam hal ini dapat diartikan sebagai cerita rekaan atau hayalan. Hal itu disebabkan karena fiksi merupakan sebuah karya naratif yang isinya tidak menyarankan pada kebenaran sejarah, Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1994). Cerpen merupakan cerita yang tidak benar-benar terjadi yang diciptakan oleh seorang pengarang yang meliputi ide, semesta, tokoh-tokoh, insiden, alur, dan tema secara imajiner dan imajinatif, (terutama kejadian dijaman dahulu ataupun dimasa modern seperti saat ini).
Dalam cerita fiksi, pengarang menghayati permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Maka dari pada itulah tidak jarang dalam sebuah karya fiksi (cerpen, novel, dsb.) terdapat berbagai aspek nilai seperti nilai agama, nilai logika, nilai etika, ataupun nilai estetika. Dan bahkan setiap karya sastra memiliki satu atau lebih diantara keempat aspek nilai tersebut. Jika ditinjau dari bentuk, kesusastraan Bali dapat dibagi menjadi dua yakni, kesusastraan Bali Tradisional atau yang lebih dikenal dengan kesusastraan Bali Purwa dan kesusastraan Bali Modern.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas dapat diperoleh gambaran bahwa cerpen Ulian Lacur menarik untuk dikaji dari unsur intrinsik, dan nilai pendidikan hindu yang terkandung didalamnya, sehingga dapat dirumuskan  permasalahan sebagai berikut:
a.       Bagaimanakah unsur intrinsik cerpen Ulian Lacur?
b.      Aspek nilai apa yang terkandung dalam cerpen Ulian Lacur?

1.3  Tujuan
a.       Untuk mengetahui unsur intrinsik cerpen yang berjudul Ulian Lacur.
b.      Untuk mengetahui dan memahami aspek nilai yang terkandung dalam cerpen yang berjudul Ulian Lacur.
1.4 Manfaat Makalah
Adapun manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut :
a.       Bagi pembaca, dapat memberikan informasi dan pemahaman mengenai karya sastra Bali modern dalam bentuk cerpen.
b.      Bagi peneliti, dapat dijadikan acuan bagi para pembuat makalah berikutnya terhadap karya sastra cerpen Bali modern.
c.       Bagi masyarakat, diharapkan dapat memberikan suatu pemahaman tentang nilai etika hindu yang terkandung dalan cerpen Bali modern.
























BAB II
PEMBAHASAAN

2.1 Sinopsis
Putu Sida berasal dari Banjar Batu, ayahnya bernama Wayan Srija. Setelah Putu Sida selesai mengikuti rapat di balai banjar yang merapatkan tentang upacara pengabenan yang akan dilaksanakan dua bulan lagi. Sesampainya di rumah Putu Sida merasa sangat lapar sekali dan ia langsung menuju ke dapur. Di dapur Putu Sida melihat istrinya sedang mengoreng ikan teri.
Putu Sida mengambil ikan teri itu satu sendok. Sedang enaknya  makan, Putu Sida mendengar ada suara orang yang berjalan cepat di selatan rumahnya. Jalannya semakin cepat menuju ke halaman rumah. Ternyata yang datang adalah ibunya memberi tahu ke pada Putu Sida bahwa ayahnya sedang sakit perut dan sudah sangat parah. Putu Sida segera membawa ayahnya ke puskesmas, tetapi karena penyakit usus buntu yang di derita ayahnya sudah sangat parah, maka di rujuk ke rumah sakit. Putu Sida pun segera meminta tolong kepada Pak Gede untuk mengantar ayahnya ke rumah sakit. Putu Sida sangat binggung memikirkan biaya yang akan diperlukan untuk ayahnya, padahal sekarang Putu Sida tidak mempunyai uang sepeser pun.
Putu Sida di rumah sakit segera membawa ayahnya ke ruangan kelas tiga ekonomi. Dokter mengatakan bahwa ayahnya Putu Sida menderita penyakit usus buntu yang sangat parah harus secepatnya dioperasi, Putu Sida di suruh menyediakan uang sebanyak empat juta, Putu Sida sangat bingung karena tidaak mempunyai uang, dan tanpa tersedia uang empat juta ayahnya tidak akan dioperasi.Putu Sida sampai memohon ke pada dokter supaya ayahnya dioprasi dulu, tetapi dokter menolak permohonan Putu Sida.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Putu Sida pulang untuk meminjam uang di LPD dengan jaminan surat tanah, Putu Sida mendapatkan uang sebesar lima juta dari LPD. Putu Sida segera membawa uang sebesar lima juta itu ke rumah sakit, tetapi sesampainya di rumah sakit, Putu Sida terkejut  melihat ayahnya sudah kaku dan telah meningal.
2.2 Unsur-Unsur Intrisik dalam Cerpen Ulian Lacur
Menurut Sukada (1982:15), menyatakan bahwa analisis aspek intrisik adalah analisis mengenai unsur-unsur yang secara keseluruhan membangun struktur karya sastra prosa tersebut. Unsur-unsur itu terdiri dari atas insiden,plot (alur cerita), karakter, dan amatnat.
Sedangkan menurut Tarigan (1978 :66-91) menyebutkan struktur pada intinya meliputi :tokoh, alur, latar, watak, tema, dan teknik/gaya bahasa. Aminudin (dalam Surya, 2008:9) menyebutkan bahwa struktur dibentuk oleh: setting, gaya bahasa, penokohan atau perwatakan, alur, titik pandang, dan tema. Dari beberapa pendapat tersebut mampu memberikan pandangan bahwa struktur atau aspek intrisik sebuah karya sastra terdiri dari beberapa komponem. Sehingga dalam menelaah struktur naratif sebuah cerpen ini akan di bahas ke dalam enam pokok bahasan yaitu: insiden, alur/piot, latar/setting, tokoh dan penokohan,tema dan amanat.
Berdasarkan beberapa uraian tentang kajian struktur karya sastra diatas, maka dapat dikemukakan dan dipaparkan unsuur intrinsik cerpen yang berjudul Ulian Lacur. Dalam pembahasannya  unsur intrinsik ini akan diawali dengan analisis  insiden, kemudian alur, tokoh penokohan, latar, tema, dan amanat dalam Cerpen Ulian Lacur.

2.2.1 INSIDEN
Insiden memegang peran yang sangat penting dalam menentukan arah alur atau plot dari sebuah cerita. Panuti Sudjiman (1990: 37), menjelaskan insiden adalah suatu kejadian atau peristiwa yang menjadi bagian pilihan dari lakuan yang dirangkaikan dengan cara tertentu merupakan episode dalam alur. Insiden adalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita tidak tergantung dari panjang atau pendek, yang secara menyeluruh membangun kerangka struktur cerita (Sukanda, 1985:80). Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi karena adnya gerakan, tindakan dalam suatu situasi oleh adanya tokoh (pelaku) yang bertindak.
Insiden adalah peralihan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Peristiwa didalam sebuah cerita dapat mengacu kepada pertumbuhan alur atau plot. Seleksi tersebut dikelompokkan dalam:
a)      peristiwa fungsional yaitu peristiwa-peristiwa yang secara menentukan mempengaruhi perkembangan alur atau plot.
b)      peristiwa kaitan yaitu peristiwa kecil yang mengaitkan peristiwa utama.
c)      peristiwa acuan yang tidak langsung mempengaruhi perkembangan alur tau plot.
d)      hubungan antara peristiwa yaitu pengaturan kelompok-kelompok peristiwa atau episode yang ditemukan kemudian disaring agar ditemukan peristiwa pokok.

Berdasarkan beberapa pengertian insiden diatas, sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan insiden adalah, rangkaian peristiwa atau kejadian dalam suatu cerita rekaan yang disajikan dengan urutan tertentu sehingga membangun atau membentuk sebuah alur atau plot.

Dari uraian di atas maka insiden yang terjadi dalam Cerpen Ulian Lacur adalah sebagai berikut :
Ø  Insiden pertama:
“Sedeng tiang seleg ngajeng, dingeh tiang wénten suaran anak majalan éncol pisan di delod umahé. Pajalané ngancan becat ngalih natahé.
“Putu… Putu… Wayan… Yan…,” kénten anaké nika kauk-kauk di subané neked di aep umahé.
“Yéh Mémé, kénkén sampun peteng kauk-kauk?” tiang matakon éran nepukin abahné mémé buka kéto
“Yan Bapan cainé nyakitang basang  uling tunian kanti malisah.” Saut ragané kanti angkih-angkih ulian malaib wawu.
“Men apa ladné maan ajenga ajak Bapa?” tiang malih matakon jejeh.
“Sing ja maan ngajeng apa, tuah nasi séla ajak jukut gedang dogén.” Saut ragané malih.
“Nah, nah ajak ka bidan jani dajané.” Kéto munyin tiangé saha malaib ka umah ba delod.”
Terjemahaan:           
“Sedang enaknya saya makan, saya dengar ada suara orang berjalan cepat-cepat di selatan rumah saya. Jalannya semakin cepat menuju halaman rumah.
“Putu... Putu...Wayan... yan...,” seperti itulah orang itu teriak-teriak sesampainya di depan rumah saya.
“Yeh Ibu, ada apa malam-malam gini teriak-teriak?” Saya bertanya heran melihat sikap ibu seperti itu.
“Yan Ayah kamu sakit perut dari tadi kesakitan”. Jawabnya terengah-engah  karena habis berlari tadi.
Terus apa yang tadi di makan ayah?” saya kembali bertanya takut.
“ Tidak dapat makan apa, cuma nasi ketela sama sayur pepaya saja.” Jawab dia lagi.
“Ya, ya bawa sekarang ke bidan di utara.” Begitulah kata saya sambil berlari ke rumah di selatan.”

Kutipan diatas menjelaskan bahwa Putu Sida mendapatkan informasi dari ibunya tentang ayahnya yang  sedang sakit perut yang sudah sangat parah. Putu Sida pun berlari ke rumah ibunya yang di selatan dan membawa ayahnya ke bidan.
Ø  Insiden kedua:
“Aduh… aduh…, Bu tiang tan ngidang naanang,” bapan tiang nuuh sambilanga ngeling.
“Pak Putu, niki bapak kena pinyungkan usus buntu, arus aba ka rumah sakit. Mangkin! Mrika ngrereh montor dumun tiang prasida nyarengin. Yén ten kénten tiang jejeh nyanan bapa nyangetang laut tan katulung.” Raos bidan seken pesan.


Runtag bayun tiangé ningehang raosé ento. Tiang inguh uli dija tiang kar ngamolihang jinah. Yén sampiné adep, ngelah tuah abesik ban ngadas ento kar anggo mayah turunan. Budi nyilih, dija lakun. Nanging jani suba sing ada jalan lén yan sing sampiné adep. Baat asané batisé matindakan nanging ulian kapepet neked masi tiang di umah Pak Gedé ané ngelah montor.”
Terjemahan:
“Aduh...aduh...,Bu saya tidak bisa menahan,” ayah saya merintih sambil menangis.
“Pak Putu, ini bapak kena penyakit usus buntu, arus di bawa ke rumah sakit. Sekarang! Kesana dulu mencari mobil saya bersedia ikut. Kalau tidak begitu saya kuwatir entar bapak tambah parah lalu tidak dapat di bantu.” Kata bidan serius sekali.
Gemetaran saya mendengarkan kata-kata itu. Saya gelisah dari mana saya mendapatkan uang. Jika menjual sapi, Cuma punya satu sebagian milik orang itu mau dipakai bayar yuran. Mau minjem, dimana minjem. Tetapi sekarang sudah tidak ada jalan lagi kalau tidak menjual sapi. Berat rasanya kaki ini berjalan tetapi karena terdesak sapai juga saya di rumah Pak Gede yang mempunyai mobil.”

Di insiden ini menjelaskan terjadinya kegelisahan dan kebinggungan  Putu Sida karena mendengar bahwa ayahnya sakit usus buntu. Dan Bu Yani menyarankan untuk di bawa kerumah sakit ayahnya, jika tidak di bawa ke rumah sakit ayahnya tidak akan tertolonng.
Ø  Insiden ketiga:
“Bapak saking napi?” dokter matakon.
                        “Tiang saking Banjar Batu, Pak,” tiang nyautin.
                        “Men niki ané sakit sirané, sira wastané?”.
“Niki bapan tiang, wastané Wayan Srija. Tiang sané nanggungjawabang, I Putu Sida,” saut tiang.
“Kénkén Bapan tiangé niki, Pak?” tiang matakon nyekenang.

“Puniki Pak, bapaké kena pnyungkan usus buntu sané ampun parah, arus dioperasi secepatné niki. Mangkin unduk biaya sané arus sediang Bapak petang juta, nika sampun polih potongan sawiréh Bapak nganggo kartu miskin.” Punika raos dokteré nyelasang.”
Terjemahan:
                        “Bapak dari mana?” dokter bertanya.
                        Saya dari desa Batu,” saya menjawab.
                        Terus ini yang sakit siapanya, siapa namanya?”.
Ini ayah saya, namanya Wayan Srija, saya yang bertagungjawab, I Putu Sida,” jawab saya.
            “Bagaimana ayah saya ini, Pak?” saya bertanya serius.
Begini Pak, bapaknya terkena penyakit usus buntu yang sudah parah, harus segera dioperasi ini. Sekarang untuk biaya yang harus siapkan Bapak empat juta, itu sudah dapat potongan karena Bapak menggunakan Kartu Miskin.” Begitulah kata dokternya menjelaskan.”

Pada insiden ini menjelaskan tentang seorang dokter yang memeriksa ayah Putu Sida yang memberi tahu bahwa ayahnya menderita sakit usus buntu yang sudah sangat parah dan harus segera di operasi. Putu Sida di haruskan menyediakan dana operasi sebesar empat juta.
Ø  Insiden keempat :
“Semengan pesan tiang ampun numpang bis mulih ka désa. Sadurungé mulih tiang mabesen kén mémé mangda becik-becik nongosin bapa dini.
Neked di désa, tiang ka LPD nyelang jinah nganggo wala surat tanah. Tiang polih jinah limang juta. Mulih uli LPD, tiang malih ka rumah sakit makta jinah ka pegawai administrasi. Nanging sadurungé mrika tiang nengokin bapa ka kamar. Ring kamar dapetang tiang mémé suba bengong. Angkian tiangé sarasa nyat nyingakin bapan tiang suba makudung kekeh sing maangkian. “Bapa…!!!”

Terjemahan:
“Pagi-pagi sekali saya sudah naik bis pulang ke desa. Sebelum pulang saya berpesan kepada ibu supaya baik-baik nungguin ayah disini.
 Sampai di rumah, saya ke LPD meminjem uang menggunakan jaminan surat tanah. Saya mendapatkan uang lima juta. Pulang dari LPD, saya kembali ke rumah sakit membawa uang ke pegawai administrasi. Namun sebelum kesana saya melihat ayah ke kamar. Di kamar lihat saya ibu sudah melamun. Napas saya merasa habis melihat ayah saya sudah mesaput kaku tidak bernapas. “Ayah...!!!”

Pada insiden ini menjelaskan tentang kepulangan Putu Sida ke desa untuk mengambil uang dengan cara meminjam di LPD menggunakan jaminan surat tanah. Putu Sida mendapatkan pinjaman sebesar lima juta dari LPD. Tetap dengan uang yang dibawanya itu Putu Sida terlambat membantu ayahnya, sehingga ayahnya meninggal.
Insiden diatas merupakan insiden sentral yang terjadi dalam Cerpen Ulian Lacur sehingga dilihat dari insiden dapat membentuk sebuah alur. Berikut ini akan  disajikan analisis alur/plot yang terdapat dalam Cerpen Ulian Lacur.

2.2.2 Alur / Plot
Alur merupakan konstruksi mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan yang diakibatkan dan dialami oleh pelaku (Luxemburg, 1986: 149).Plot tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi tetapi yang lebih penting adalah menggambarkan mengapa hal itu terjadi. Intisari plot adalah konflik atau plot berpusat pada adanya konflik. Dalam sebuah cipta sastra, alur atau plot merupakan bagian dan kerangka dasar yang sangat penting. Alur mengatur tindakan. Tindakan yang satu bertalian dengan yang lain. Tokoh-tokoh harus digambarkan dan berperan dalam tindakan-tindakan itu, dan bagaimana situasi dan perasaan karakter (tokoh) yang terlibat dalam tindakan-tindakan itu yang terikat dalam satu kesatuan waktu (Keraf,1980:184).
Alur adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan atas hubungan sebab akibat (kausalitas). Secara garis besar alur dibagi menjadi tiga bagian, yaitu awal, tengah, dan akhir. Sayuti (dalam Wiyatmi, 2006:36).
Menurut Atmazaiki (1990: 60) alur digolongkan menjadi dua. Secara umum alur dalam suatu cerita dibedakan atas dua bagian yaitu: alur tradisional dan alur konvensional. Alur yang menderetkan rangkaian peristiwa mulai dari pengenalan, mulai bergerak, menuju puncak, di puncak dan akhir penyelesaian disebut alur tradisional. Sedangkan alur yang tidak terikat kepada sistem  perderetan peristiwa seperti pada alur tradisional disebut alur konvensional.
Tarigan (1986: 128) mengemukakan lima unsur yang menyebabkan alur berkembang, sehingga perkembangan alur sebuah fiksi sesuai dengan perkembangan alur dalam cerita. Kelima unsur alur yang dimaksud yaitu:
1.      Situation (pengarang melukiskan suatu keadaan).
2.      Generation circumastances (peristiwa mulai bergerak).
3.      Rising action (keadaan yang mulai memuncak).
4.      Climaks (peristiwa mencapai puncak).
5.      Denoument (pemecahan persoalan dari peristiwa-peristiwa).

Dilihat dari beberapa pengertian alur atau plot diatas, Cerpen Ulian Lacur menggunan alur atau plot lurus, yang cukup panjang, di mana diawali dengan Situation dan kemudian dilanjutkan dengan adanya paparan, climaks dan denoument dalam perkembangan alurnya, sampai cerita selesai.
Cerpen yang berjudul Ulian Lacur menggunakan alur  lurus yang diawali dengan Situation ,dimana Putu Sida yang selaku tokoh utama dijelaskan memiiki suatu keadaan ekonomi yang kurang, di dalam menghadapi kehidup sehari-hari. Berikut kutipan hal yang menunjukan seperti itu:



“Peteng dedet puniki pinaka saksi  sebet kenehé tan kadi-kadi. Ulian nasibé jelék tampi tiang dadi manusa ané tumbuh di guminé tiwas nékték. Yén umpamiang rasané uyah lengis nu makékéh mancan ngidang ngurabang anggo darang nasi. Sané mangkin Hyang Widi né micain pica sané ten ngidang rasané tiang manampi. Yén dadi seselang, pang sesai makita  mamisuh, maseselan. Tuah ja mula niki sampun jalan idupé sané dados peduman.”
Terjemahan:
“Malam gulita ini sebagai saksi sakit keneh yang tak henti-henti. Karena nasib buruk yang saya terima sebagai manusia yang hidup di dunia yang sangat miskim. Kalau diumpamakan rasanya garam dan minyak pun masih susah ngak akan pernah bisa mencampur itu untuk lauk makanan. Yang sekarang Hyang Widi (tuhan) yang memberikan anugrah yang tidak bisa saya terima. Kalau bisa disesali, supaya setiap hari berkeinginan mengeluarkan kata-kata kotor, menyesali, memang inilah sudah jalan hidup yang  saya dapatkan.”

Di bawah ini alur sudah memasuki tahap Generation circumastances  yang yang dapat di lihat dalam kutipan berikut:
“Sedeng tiang seleg ngajeng, dingeh tiang wénten suaran anak majalan éncol pisan di delod umahé. Pajalané ngancan becat ngalih natahé.
“Putu… Putu… Wayan… Yan…,” kénten anaké nika kauk-kauk di subané neked di aep umahé.
“Yéh Mémé, kénkén sampun peteng kauk-kauk?” tiang matakon éran nepukin abahné mémé buka kéto.
“Yan Bapan cainé nyakitang basang  uling tunian kanti malisah.” Saut ragané kanti angkih-angkih ulian malaib wawu.
“Men apa ladné maan ajenga ajak Bapa?” tiang malih matakon jejeh.
“Sing ja maan ngajeng apa, tuah nasi séla ajak jukut gedang dogén.” Saut ragané malih.
“Nah, nah ajak ka bidan jani dajané.” Kéto munyin tiangé saha malaib ka umah ba delod.”

Terjemahaan:
“Sedang enaknya saya makan, saya denger ada suara orang berjalan cepat-cepat di selatan rumah. Jalannya semakin cepat menuju halaman rumah.
 “Putu... Putu...Wayan... yan...,” seperti itulah orang itu teriak-teriak di sudah sampai di depan rumah.
“Yeh Ibu, ada apa sudah malam teriak-teriak?” saya bertanya heran melihat sikap ibu seperti itu.
“Yan Ayah kamu sakit perut dari tadi sampai mules sekali”. Jawab dia sampai terkangah-kangah  karena lari tadi.
Terus apa yang tadi di makannya sama ayah?” saya kembali bertanya takut. “
Tidak dapat makan apa, cuma nasi ketela sama sayur pepaya saja.” Jawab dia lagi.
“Ya, ya bawa sekarang ke bidan di utara.” Begitulah kata saya sambil berlari ke rumah di selatan.”

Di bawah ini alur sudah memasuki yang namanya rising action, hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Aduh… aduh…, Bu tiang tan ngidang naanang,” bapan tiang nuuh sambilanga ngeling.
“Pak Putu, niki bapak kena pinyungkan usus buntu, arus aba ka rumah sakit. Mangkin! Mrika ngrereh montor dumun tiang prasida nyarengin. Yén ten kénten tiang jejeh nyanan bapa nyangetang laut tan katulung.” Raos bidan seken pesan.
Runtag bayun tiangé ningehang raosé ento. Tiang inguh uli dija tiang kar ngamolihang jinah. Yén sampiné adep, ngelah tuah abesik ban ngadas ento kar anggo mayah turunan. Budi nyilih, dija lakun. Nanging jani suba sing ada jalan lén yan sing sampiné adep. Baat asané batisé matindakan nanging ulian kapepet neked masi tiang di umah Pak Gedé ané ngelah montor.”

Terjemahan:
“Aduh...aduh...,Bu saya tidak bisa menahan,” ayah saya merintih sambil menangis.

“Pak Putu, ini bapak kena penyakit usus buntu, arus di bawa ke rumah sakit. Sekarang! Kesana dulu mencari mobil saya bersedia ikut. Kalau tidak begitu saya kuwatir entar bapak tambah parah lalu tidak dapat di bantu.” Kata bidan serius sekali.
Gemetaran saya mendengarkan kata-kata itu. Saya gelisah dari mana saya mendapatkan uang. Jika menjual sapi, Cuma punya satu sebagian milik orang itu mau dipakai bayar yuran. Mau minjem, dimana minjem. Tetapi sekarang sudah tidak ada jalan lagi kalau tidak menjual sapi. Berat rasanya kaki ini berjalan tetapi karena terdesak sapai juga saya di rumah Pak Gede yang mempunyai mobil.”

Berikut ini alur sudah memasuki tahap Climaks (peristiwa mencapai puncak), hal ini sesuai dengan kutipan berikut:
“Bapak saking napi?” dokter matakon.
“Tiang saking Banjar Batu, Pak,” tiang nyautin.
                        “Men niki ané sakit sirané, sira wastané?”.
“Niki bapan tiang, wastané Wayan Srija. Tiang sané nanggungjawabang, I Putu Sida,” saut tiang.
                        “Kénkén Bapan tiangé niki, Pak?” tiang matakon                             nyekenang.
“Puniki Pak, bapaké kena pnyungkan usus buntu sané ampun parah, arus dioperasi secepatné niki. Mangkin unduk biaya sané arus sediang Bapak petang juta, nika sampun polih potongan sawiréh Bapak nganggo kartu miskin.” Punika raos dokteré nyelasang.
Terjemahan:
“Bapak dari mana?” dokter bertanya.
Saya dari desa Batu,” saya menjawab.
Terus ini yang sakit siapanya, siapa namanya?”.
“Niki ayah saya, namanya Wayan Srija, saya yang bertanggungjawab, I Putu Sida,” jawab saya.
“Bagaimana ayah saya ini, Pak?” saya bertanya serius.
Begini Pak, bapak anda terkena penyakit usus buntu yang sudah parah, harus segera dioperasi ini. Sekarang untuk biaya yang harus siapkan Bapak empat juta, itu sudah dapat potongan karena Bapak menggunakan Kartu Miskin.” Begitulah kata dokternya menjelaskan.”

Kutipan di atas merupakan puncak permasalahan yang dihadapi oleh Putu Sida, setelah mengetahui bahwa biya yang di perlukan untuk mengoperasi ayahnya sangat besar, Putu Side pun bingung, dan memutuskan untuk meminjam uang di LPD dengan menggunakan surat jaminan yang berupa tanah, tetap Putu Sida terlambat menplong ayahnya. Sesampainya di rumah sakit ayahnya sudah tidak bernyawa. Di sini alur memasuki tahap akhir yaitu tahap Denoument (pemecahan persoalan dari peristiwa-peristiwa), berikut lampirannya:
“Semengan pesan tiang ampun numpang bis mulih ka désa. Sadurungé mulih tiang mabesen kén mémé mangda becik-becik nongosin bapa dini.
Neked di désa, tiang ka LPD nyelang jinah nganggo wala surat tanah. Tiang polih jinah limang juta. Mulih uli LPD, tiang malih ka rumah sakit makta jinah ka pegawai administrasi. Nanging sadurungé mrika tiang nengokin bapa ka kamar. Ring kamar dapetang tiang mémé suba bengong. Angkian tiangé sarasa nyat nyingakin bapan tiang suba makudung kekeh sing maangkian. “Bapa…!!!”
                                    Terjemahan:
“Pagi-pagi sekali saya sudah naik bis pulang ke desa. Sebelum pulang saya berpesan kepada ibu supaya baik-baik nungguin ayah disini.
 Sampai di rumah, saya ke LPD meminjem uang menggunakan jaminan surat tanah. Saya mendapatkan uang lima juta. Pulang dari LPD, saya kembali ke rumah sakit membawa uang ke pegawai administrasi. Namun sebelum kesana saya melihat ayah ke kamar. Di kamar lihat saya ibu sudah melamun. Napas saya merasa habis melihat ayah saya sudah mesaput kaku tidak bernapas. “Ayah...!!!”

Berdasarkan kutipan diatas, menegaskan bahwa tokoh Utama Putu Sida telah mencapai sed ending yang tidak membahagiakan karena idak bisa menyelamatkan ayahnya yang menderita sakit usus buntu, itu semua karena Putu Sida tidak mempunyai uang, dan ketika ada uang Putu Sida terlambat membawanya ke rumah sakit, sehingga ayahnya tidak dapat ditolong lagi. Pergerakan alur atau plot dalam Cerpen Ulian Lacur menggunakan alur rapat, karena dalam setiap peristiwa atau insiden dari awal sampai akhir cerita, selalu terpusat pada tokoh utama dan tidak menyelipkan cerita yang lain, dimana Putu Sida sebagai tokoh utama dan sekaligus sebagai penggerak alur cerita.
            Pemaparan diatas merupakan kajian dari segi alur Cerpen Ulian Lacur. Cerpen Ulian Lacur memakai sistem alur tradisional (alur lurus). Berikut ini akan disajikan tokoh dan penokohan dalam Cerpen Ulian Lacur.

2.2.3 Tokoh dan Penokohan
Punuti Sudjiman (1986:16) mengatakan bahwa tokoh adalah individu rekan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa cerita. Lebih lanjut dikatakan tokoh pada umumnya berwujud manusia tetapi ada juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan, tokoh benda atau binatang ini berperilaku seperti manusia, dapat berfikir, bertingkah laku dan berbicara seperti manusia (Sudjiman, 1988: 16). Tokoh merupakan bagian atau unsur dari suatu keutuhan artistik yaitu karya sastra yang harus selalu menunjang keutuhan artistik itu  (sudjiman 1992:17).
Tokoh dalam fiksi dapat dibedakan menjadi dua yaitu: tokoh utama (tokoh sentral) dan tokoh tambahan (periferal). Disebut tokoh utama apabila memenuhi tiga syarat, yaitu:
1.      paling terlibat dengan makna atau tema,
2.      paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, dan
3.      paling banyak memerlukan waktu penceritaan.

Menurut M. Esten (1987: 27) adalah bagaimana cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokohnya  dalam suatu cerita rekaan. Dalam penggambaran tokoh-tokoh dalam sebuah cerita rekaan, ada beberapa cara yang ditempuh pengarang dalam menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokohnya. Dalam hal ini M. Saleh Saad (1978: 11) membedakan cara pengambaran watak tokoh-tokoh dalam cerita dibedakan menjadi tiga:
1.      Cara Analitik yaitu pengarang secara langsung menceritakan bagaimana watak tokoh-tokoh yang ada dalam cerita tersebut.
2.      Cara Dramatik yaitu pengarang membiarkan tokoh-tokohnya mengungkapkan, menyatakan apa yang ada dalam dirinya melalui ucapan, perbuatan, komentar, atau melalui penilaian tokoh lain.
3.      Cara Gabungan yaitu cara menampilkan tokoh-tokoh dengan cara analitik sekaligus dramatik ataupun sebaliknya.
Perwatakan memiliki tiga dimensi sebagai struktur utamanya dalam membangun karya sastra (Sukada, 1987: 135), yakni:
1.      Fisologis, meliputi jenis kelamin, tampang, cacat tubuh, dan lain sebagainya.
2.      Sosiologis, meliputi pangkat, agama, lingkungan, kebangsaan dan lain sebagainya.
3.      Psikologi, meliputi cita-cita, ambisi, kekecewaan, dan yang sejenisnya.
Tokoh yang memegang peran pimpinan disebut tokoh utama atau prontagonis. Prontagonis selalu menjadi tokoh yang sentral dan bahkan menjadi sorotan dalam kisah cerita (Sudjiman, 1992:17-18). Tokoh utama (rtimer) merupakan tokoh yang paling sering terlibat dan umumnya dikuasai oleh serangkaian peristiwa. Tokoh  sekunder merupakan tokoh bawahan yang berperan dalam mengabdi atau bersama-sama tokoh utama dalam membangun cerita. Sedangkan tokoh pelengkap atau penunjang (komplimenter) merupakan tokoh yang berfungsi membantu kelancaran gerak tokoh utama (primer) dan tokoh bawahan (skunder).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tokoh penokohan merupakan para pelaku rekaan yang mengalami peristiwa yang memiliki pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang tokoh, baik dari penampilan, tingkah laku, watak maupun karakter yang ditampilkan dalam sebuah cerita sehingga membangun satu kesatuan yang padu.

2.2.4.1  Tokoh Utama
Tokoh utama dalam Cerpen Ulian Lacur adalah Putu Sida Karena paling terlibat dengan makna atau tema cerpen, paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, dan paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Tokoh prontagonis atau tokoh utama di sini sudah berkeluarga, dan hiduup dalam kemiskinan, berikut kutipannya:
“Peteng dedet puniki pinaka saksi  sebet kenehé tan kadi-kadi. Ulian nasibé jelék tampi tiang dadi manusa ané tumbuh di guminé tiwas nékték. Yén umpamiang rasané uyah lengis nu makékéh mancan ngidang ngurabang anggo darang nasi. Sané mangkin Hyang Widi né micain pica sané ten ngidang rasané tiang manampi. Yén dadi seselang, pang sesai makita  mamisuh, maseselan. Tuah ja mula niki sampun jalan idupé sané dados peduman.”
Terjemahan:
“Malam gelap gulita ini sebagai saksi sakit hati yang tak henti-henti. Karena nasib buruk yang saya terima sebagai manusia yang hidup di dunia yang sangat miskim. Kalau diumpamakan rasanya garam dan minyak pun masih susah ngak akan pernah bisa mencampur itu untuk lauk makanan. Yang sekarang Hyang Widi (tuhan) yang memberikan anugrah yang tidak bisa saya terima. Kalau bisa disesali, supaya setiap hari berkeinginan mengeluarkan kata-kata kotor, menyesali, memang inilah sudah jalan hidup yang  saya dapatkan.”

Kutipan diatas menunjukan bahwa tokoh Putu Sida merupakan sosok tokoh yang sangat sabar, walau hidup dalam kemiskinan. Disamping itu pula, secara psikologis tokoh Putu Sida merupakan sosok tokoh yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Dimana Putu Sida sebagai anak yang berbhakti kepada kedua orang tuanya. Berikut kutipan yang menunjukan hal tersebut:
“Yén kéto, mai Pa tiang ngandong. Ajaka ka bidan.” Tiang nyemak bapan tiangé laut ajak ka bidan. Petengé dedet ngaénang tiang ten ngidang énggal majalan. Suba uling tuni listriké mati. Anaké samian sampun madamar sentir. Mémén tiangé nutugin uling duri ngaba brokbok.
“Tu, cai ngelah pipis? Mémé nak sing ngelah pipis nang akéténg.” Kénten raos mémén tiangé di subané paek ngajak puskesmasé.
“Mémé da ngitungang kéto malu, né penting jani bapa maan ubad. Kanggoang malu jani ngidih tulungan ajak Bu Yani pang banga nganggeh,” punika tiang nyautin.”
Terjemahan:
“Kalau begitu, sini biar saya mengendong ayah. Bawa ke bidan.” Saya mengambil ayah saya lalu bawa ke bidan. Malam sekali menyebabkan saya tidak bisa cepat berjalan. Sudah dari tadi listriknya mati. Semua orang sudah menggunakan lampu sentir. Ibu saya mengikuti dari belakang membawa obor.
“Tu, kamu punya uang? Ibu tidak mempunyai uang sepeser pun.” Begitulah kata ibu saya ketika sudah dekat dengan puskesmas.
. “Ibu jangan memikirkan itu dulu, yang penting sekarang ayah mendapat obat. Untuk sekarang minta bantuan sama Bu Yani supaya dikasi ngutang,” seperti itu saya menjawab.”

Kutipan di atas menunjukan betapa bhaktinya Putu Sida kepada ayahnya yang sedang dalam keadaan sakit. Selain secara psikologis tokoh Putu Sida juga sangat mengedepankan sifat secara sosiologis, karena ia menyadari bahwa manusia merupakan mahluk sosial yang selalu berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan tidak bisa hidup sendiri. Seperti dalam kutipan berikut:
“Pak Gedé… Pak Gedé…,” tiang kauk-kauk uli natahné.
“Nyén…?” ragané masaut uli tengah sambilanga ngampakang jelan.
“Éngkén Tu adi ba peteng nogdog jelan?” kénten ragané matakon. Sebengné suba ngarwanang gedeg kén tiang.

“Lédangang Pak Gedé, tiang ba peteng mriki, tiang jagi ngidih tulungan mangkin sareng Pak Gedé. Bapan tiangé sakit sangét mangkin arus ka rumah sakit. Pak Gedé kayun nganter ka rumah sakit?” kénten tiang ngesor ngidih tulungan.
“Ngelah pipis cai kar anggon mayah?” saut ragané malih.
“Pak, mangkin tiang déréng ngelah jinah, nanging benjang tiang kar ngadep sampi. Kanggoang benjang wawu bayah tiang.” Tiang masaut seken.
“Nah, ba ya kéto. Men jani dija bapan cainé?” ragané matakon sambilanga nguasang jemak sereg montoré.
“Bapan tiangé di puskesmas Pak,” tiang nyautin.
 Pak Gedé mesuang montor kijangné uli garasiné. Di subané tiang menék montoré maserét ka puskesmas”
Terjemahan:
“Pak Gede... Pak Gede...,” saya teriak-teriak dari halaman rumahnya.
“Siapa...?” dia menjawab dari dalam sambil membuka pintu.
“Kenapa Tu..kok sudah malam ngetuk pintu?” begitu dia bertanya. Raut mukanya rengas marah sama saya.
“Maaf Pak Gede, saya sudah malam kesini, saya mau minta tolong sekarang sama Pak Gede. Ayah saya sakit parah sekarang harus ke rumah sakit. Pak Gede bisa mengantar ke rumah sakit?” begitu saya, memohon minta pertolongan.
                        “Punya Uang kamu untuk membayar?” jawab dia lagi.
“Pak sekarang saya belum punya uang, tetapi besok saya akan menjual sapi. Terima besok baru bayar saya.” Saya menjawb serius.
“Ya, kalau sudah begitu. Terus sekarang dimana ayah kamu?” dia bertanya sambil berusaha mengambil kunci mobil.
                        “Ayah saya di puskesmas Pak,” saya menjawabnya.
Pak Gede mengeluarkan mobil kijangnya dari garasinya. Sesudahnya saya naik mobil lalu cepat-cepat ke Puskesmas.”
Kutipan di atas menjelaskan hubungan sosial antara Putu Sida dengan Pak Gede, di mana Putu Sida dengan rendah hati meminta pertolongan untuk mengantar ayahnya ke rumah sakit.

2.2.4.2  Tokoh Bawahan
Adapun beberapa tokoh bawahan dalam Cerpen Ulian Lacur anatara lain:
1.      Istri Putu Sida
Pengarang menceritakan Istri Putu Sida ini tidak terlalu banyak terlibat dalam cerita, dan digambarkan sebagai istri yang rajin dan perhatian terhadap suaminya seperti kutipan berikut:
“Usan sangkep, tiang marasa basangé seduk sajan, neked jumah tiang ka paon. Di paon dapetang kurenané sedeng ngoréng gerang.
“Kondén ada ajengan nasi Yan?” tiang matakon saha ngampakang  grobag tongos ajengan nasiné.
“To sambel serané tuni nu bin bedik. Kanggoang?” saut ragané sambilanga ngadukang sané gorénga.
“Men ten ngantiang gerang?” malih ragané matakon kén tiang.
“Ba imang lebeng Yan? Bé seduk sajan basangé,” saut tiang sambilang nyekenang ningalin ka pangoréngané.”
                                                Terjemahan:
“Selesai rapat, saya merasa perut saya lapar sekali, sampai di rumah saya ke dapur. Di dapur sudah ada istri saya sedang menggoreng ikan teri.
“Belum ada lauk nasi Yan?” saya bertanya sambil membuka lemari tempat lauk nasi.
“Itu sambel terasi yang tadi masih sedikit. Mau?” jawab dia sambil mengaduk yang sedang digorengnya.
“Terus tidak menunggu ikan teri?” lagi dia bertanya ke pada saya.
“Sudah mau selesai Yan? Sudah lapar sekali perut ini,” jawab saya sambil melihat serius ke penggorengannya.”

2.      Ibu Putu Sida
Ibu Putu Sida digamarkan di dalam cerpen ini sebagai seorang yang sangat memperhatikan suaminya walau dalam keadaan sakit, berikut kutipannya:
“Yéh Mémé, kénkén sampun peteng kauk-kauk?” tiang matakon éran nepukin abahné mémé buka kéto.“Yan Bapan cainé nyakitang basang  uling tunian kanti malisah.” Saut ragané kanti angkih-angkih ulian malaib wawu. “Men apa ladné maan ajenga ajak Bapa?” tiang malih matakon jejeh.“Sing ja maan ngajeng apa, tuah nasi séla ajak jukut gedang dogén.” Saut ragané malih.“Nah, nah ajak ka bidan jani dajané.” Kéto munyin tiangé saha malaib ka umah ba delod.”
Terjemahaan:  
“Yeh Ibu, ada apa sudah malam teriak-teriak?” saya bertanya heran melihat sikap ibu seperti itu. “Yan Ayah kamu sakit perut dari tadi sampai mules sekali”. Jawab dia sampai terkangah-kangah  karena lari tadi. “terus apa yang tadi di makannya sama ayah?” saya kembali bertanya takut. “ Tidak dapat makan apa, cuma nasi ketela sama sayur pepaya saja.” Jawab dia lagi. “Ya, ya bawa sekarang ke bidan di utara.” Begitulah kata saya sambil berlari ke rumah di selatan.”
           
3.Wayan Srija
Di sini pengarang tidak begitu menjelaskan tentang Wayan Srija, karena Wayan Srija dalam keadaan sakit, dan ceritakan sebagai ayah dari  Putu Sida, berikut kutipannya:
“Neked delod dapetang bapan tiang sampun lemet tan sida naanang sakit. “Ngidang Bapa majalan?” tiang matakon. “Aduh…, bapa sing ngidang makrisikan Tu,” saut ragané adéng. “Yén kéto, mai Pa tiang ngandong. Ajaka ka bidan.”
            Terjemahan:
“Sampai di selatan saya sudah lihat ayah dalam keadaan lemas tidak bisa menahan sakit. “bisa Ayah Berjalan?” saya bertanya. “Aduh..., ayah tidak bisa bergeser Tu,” jawab ayahnya pelan. “Kalau begitu, sini ayah saya gendong. Bawa ke bidan”

4.Bu Yani
Dalam Cerpen Ulian Lacur ini pengarang menceritakan seorang bidan yaitu Bu Yani yang digambarkan sebagai tokoh yang ramah, sopan santun. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Di subané di aep puskesmas tiang ngetok pintu. “Bu… Bu Yani,” tiang kauk-kauk sambilang ngetok jelané. “Enggih sira drika?” saut ragané sambilanga ngampakang jelan. Yéh Bli Putu, éngkén nika bapaké?” ragané matakon nyingakin tiang ngandong bapan tiangé. “Kénten Bu, bapan tiang nyakitang basang kanti nglinterin uli tunian,” tiang masaut. “Oh…, mriki bakta ka kamar préksa dumun!” ragané nandanin tiang ngalih ruang préksa. “Ampun uli jam kuda ragana sakit?” ragané matakon sambilanga ngukur ténsi. “Kocap ampun uli jam tengah sia wawu Bu.” Tiang nyautin.“Ané encén sanget sakitang Pak?” ragané matakon nyekenang kén bapan tiangé. “Niki Bu,” bapan tiangé nujuang sakitné. “Enggih, mangkin cobak Bapak penekang batisé nganti di duur sirahé!” bu bidan nundén bapa sambilanga ningting batisné bapa. “Aduh… aduh…, Bu tiang tan ngidang naanang,” bapan tiang nuuh sambilanga ngeling. “Pak Putu, niki bapak kena pinyungkan usus buntu, arus aba ka rumah sakit. Mangkin! Mrika ngrereh montor dumun tiang prasida nyarengin. Yén ten kénten tiang jejeh nyanan bapa nyangetang laut tan katulung.” Raos bidan seken pesan.”
Terjemahan:
“Sesudahnya sampai di depan puskesmas saya ngetuk pintu. “ Bu... Bu Yani,” saya teriak-teriak sambil mengetuk pintu. “Ya siapa disana?” jawab dia sambil membuka pintu. “Oh Bli Putu, bagaimana itu ayahnya?” bu yeni bertanya melihat saya menggendong  ayah saya. “Begini Bu, ayah saya sakit perut sampai mules-mules dari tadi,” saya menjawab. “Oh...,sini bawake kamar periksa dulu!” dia memegang tangan saya menuju ruang priksa. “dari jam berapa dirinya sakit?” dia bertanya sambil mengukur tensi. “barang kali sudah dari jam setengah semilan tadi Bu.” Saya menjawab. “Yang mana paling sakit Pak?” dia bertanya memperjelas kepada ayah saya. “ini Bu,” ayah saya menunjuk sakitnya. “ Ya, sekarang coba Bapak angkat kaki sampai di atas kepala!” bu bidan menyuruh ayah sambil mengangkat kaki ayah. “Aduh...aduh...,Bu saya tidak bisa menahan,” ayah saya merintih sambil menangis. “Pak Putu, ini bapak kena penyakit usus buntu, arus di bawa ke rumah sakit. Sekarang! Kesana dulu mencari mobil saya bersedia ikut. Kalau tidak begitu saya kuwatir entar bapak tambah parah lalu tidak dapat di bantu.” Kata bidan serius sekali.”
           
5.Pak Gede
Pak Gede digambarkan sebagai tokoh yang sangat mengharapkan balas budi terhadap jasanya. Seperti saat meminta bayaran ketika diminta pertolongannya oleh Putu Sida untuk mengantar ayahnya ke rumah sakit. Berikut kutipannya:
“Pak Gedé… Pak Gedé…,” tiang kauk-kauk uli natahné. “Nyén…?” ragané masaut uli tengah sambilanga ngampakang jelan. “Éngkén Tu adi ba peteng nogdog jelan?” kénten ragané matakon. Sebengné suba ngarwanang gedeg kén tiang. “Lédangang Pak Gedé, tiang ba peteng mriki, tiang jagi ngidih tulungan mangkin sareng Pak Gedé. Bapan tiangé sakit sangét mangkin arus ka rumah sakit. Pak Gedé kayun nganter ka rumah sakit?” kénten tiang ngesor ngidih tulungan. “Ngelah pipis cai kar anggon mayah?” saut ragané malih.

“Pak, mangkin tiang déréng ngelah jinah, nanging benjang tiang kar ngadep sampi. Kanggoang benjang wawu bayah tiang.” Tiang masaut seken. “Nah, ba ya kéto. Men jani dija bapan cainé?” ragané matakon sambilanga nguasang jemak sereg montoré. “Bapan tiangé di puskesmas Pak,” tiang nyautin. Pak Gedé mesuang montor kijangné uli garasiné. Di subané tiang menék montoré maserét ka puskesmas”
Terjemahan:
“Pak Gede... Pak Gede...,” saya teriak-teriak dari halaman rumahnya. “Siapa...?” dai menjawab dari dalam sambil membuka pintu. “Kenapa Tu..kok sudah malam ngetuk pintu?” begitu dia bertanya. Raut mukanya rengas marah sama saya. “Maaf Pak Gede, sayasudah malam kesini, saya mau minta tolong sekarang sama Pak Gede. Ayah saya sakit parah sekarang harus ke rumah sakit. Pak Gede bisa mengantar ke rumah sakit?” begitu saya, memohon minta pertolongan. “Punya Uang kamu untuk membayar?” jawab dia lagi. “Pak sekarang saya belum punya uang, tetapi besok saya akan menjual sapi. Terima besok baru bayar saya.” Saya menjawb serius. “Ya, kalau sudah begitu. Terus sekarang dimana ayah kamu?” dia bertanya sambil berusaha mengambil kunci mobil. “Ayah saya di puskesmas Pak,” saya menjawabnya. Pak Gede mengeluarkan mobil kijangnya dari garasinya. Sesudahnya saya naik mobil lalu cepat-cepat ke Puskesmas.”

Di atas telah di sajikan tentang tokoh dan penokohan dalam Cerpen Ulian Lacur berikut akan disajikan mengenai latar atau setting dalam Cerpen Ulian Lacur.

2.2.4 Latar (setting)  
Latar atau setting yang juga disebut landas tumpu menyaran pada pengertian tempat dan waktu, sebagaimana halnya kehidupan manusia di dunia nyata. Dengan kata lain fiksi sebagai sebuah dunia, disamping membutuhkan tokoh, cerita, dan plot juga perlu latar, Abram (dalam Nurgiantoro, 1995:216).


Peristiwa-peristiwa didalam cerita tentulah terjadi pada sewktu-waktu atau di dalam rentang waktu tertentu dan pada satu tempat tertentu secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam satu karya sastra membangun latar cerita (Sudjiman, 1992:44).
Latar dapat diartikansebagai salah satu unsur sastra yang berhubungan dengan tempat, keadaan dan waktu terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Latar (setting) merupakan gambaran tempat dan waktu atau segala situasi tempat terjadinya peristiwa. Latar yang baik selalu dapat membentuk elemen-elemen dalam cerita seperti plot dan perwatakan (Huntagalung, 1967:103). Nurgiyantoro (195: 227) membagi latar kedalam tiga unsur pokok yaitu: tempat, waktu, dan sosial.
a.       Latar Tempat latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tifikal dan fungsional. Ia akan mempengaruhi pengaluran dan penokohan, dan karenanya menjadi koheren dengan cerita keseluruhan (Nurgiyantoro, 1995: 227-228).
b.      Latar Waktu masalah dalam karya naratif, Genette (dalam Nurgiyantoro 1995: 231), dikatakan dapat bermakna ganda, di satu pihak menyaran pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita dan dipihak lain menunjuk pada waktu dan unsur waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita.
c.       Latar Sosial latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencangkup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Hal tersebut dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritural seperti yang dikemukakan sebelumnya. Disamping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status tokoh yang bersangkutan (Nurgiyantoro 1995: 232-234).
2.2.3.1 Latar tempat
Dalm Cerpen Ulian Lacur ada beberapa latar tempat yang menjadi,  tempat terjadinya peristiwa antara lain; Bale Banjar, di Dapur Rumahnya Putu Sida, Rumah Ibunya yang di selatan, Puskesmas, Rumah Pak Gede, dan di Rumah sakit.. Namun tidak semua latar tersebut menjadi pusat sentral pengisahan dalam hal ini hanya dipaparkan beberapa latar sentral yang membawa tokoh utama dalam Cerpen Ulian Lacur, latar tersebut yaitu:
1.      Di Dapur rumahnya Putu Sida
Di sini menjelaskan sampainya Putu Sida dari Bale Banjar karena lapar ia pun segera ke dapur rumahnya. Seperti cuplikan berikutr:
“Usan sangkep, tiang marasa basangé seduk sajan, neked jumah tiang ka paon. Di paon dapetang kurenané sedeng ngoréng gerang. “Kondén ada ajengan nasi Yan?” tiang matakon saha ngampakang  grobag tongos ajengan nasiné. “To sambel serané tuni nu bin bedik. Kanggoang?” saut ragané sambilanga ngadukang sané gorénga. “Men ten ngantiang gerang?” malih ragané matakon kén tiang. “Ba imang lebeng Yan? Bé seduk sajan basangé,” saut tiang sambilang nyekenang ningalin ka pangoréngané. Tiang nyokot gerang punika acekot.
Terjemahn:
“Selesai rapat, saya merasa perut saya lapar sekali, sampai di rumah saya kedapur. Di dapur saya temui istri saya sedang menggoreng ikan teri. “belum ada lauk makanan Yan?” saya bertanya sambil membuka lemari tempat lauk makanan. “Itu sambel terasi yang tadi masih tersisa lagi sedikit. Mau?” jawab dia sambil mengaduk yang digorengnya. “Kalau tidak menunggu ikan teri?” lagi dia bertanya sama saya. “Sudah mau matang Yan? Sudah lapar sekali perut saya,” jawab saya sambil melihat ke penggorengan. Saya mengambil ikan teri itu satu sendok.


2.      Di Puskesmas
Di sini menjelaskan mengenai pertolongan yang di berikan oleh Bu Yani ke pada ayahnya Putu Sida di Puskesmas. Di Puskesmas ini ayah Putu Sida di priksa dan ketahuan bahwa ayahnya Putu Sida menderita sakit usus buntu dan harus di bawa ke rumah sakit. Kutipannya sebagai berikut:
“Ané encén sanget sakitang Pak?” ragané matakon nyekenang kén bapan tiangé. “Niki Bu,” bapan tiangé nujuang sakitné. “Enggih, mangkin cobak Bapak penekang batisé nganti di duur sirahé!” bu bidan nundén bapa sambilanga ningting batisné bapa. “Aduh… aduh…, Bu tiang tan ngidang naanang,” bapan tiang nuuh sambilanga ngeling.“Pak Putu, niki bapak kena pinyungkan usus buntu, arus aba ka rumah sakit. Mangkin! Mrika ngrereh montor dumun tiang prasida nyarengin. Yén ten kénten tiang jejeh nyanan bapa nyangetang laut tan katulung.” Raos bidan seken pesan.
Terjemahan:
“Yang mana paling sakit Pak?” dia bertanya memperjelas kepada ayah saya. “ini Bu,” ayah saya menunjuk sakitnya. “ Ya, sekarang coba Bapak angkat kaki sampai di atas kepala!” bu bidan menyuruh ayah sambil mengangkat kaki ayah. “Aduh...aduh...,Bu saya tidak bisa menahan,” ayah saya merintih sambil menangis. “Pak Putu, ini bapak kena penyakit usus buntu, arus di bawa ke rumah sakit. Sekarang! Kesana dulu mencari mobil saya bersedia ikut. Kalau tidak begitu saya kuwatir entar bapak tambah parah lalu tidak dapat di bantu.” Kata bidan serius sekali.”

3.      Di rumah sakit
Disini menjelaskan tentang pernyataan dokter bahwa ayah Putu Side menderita sakit usus buntu dan harus segera dioperasi, secepatnya dan biaya yang harus di sediakan sebanyak empat juta. Berikut kutipannya:
 “Bapak saking napi?” dokter matakon. “Tiang saking Banjar Batu, Pak,” tiang nyautin. “Men niki ané sakit sirané, sira wastané?”.  “Niki bapan tiang, wastané Wayan Srija. Tiang sané nanggungjawabang, I Putu Sida,” saut tiang. “Kénkén Bapan tiangé niki, Pak?” tiang matakon nyekenang. “Puniki Pak, bapaké kena pnyungkan usus buntu sané ampun parah, arus dioperasi secepatné niki. Mangkin unduk biaya sané arus sediang Bapak petang juta, nika sampun polih potongan sawiréh Bapak nganggo kartu miskin.” Punika raos dokteré nyelasang.”

Terjemahan:
“Bapak dari mana?” dokter bertanya. “saya dari desa Batu,” saya menjawab. “ terus ini yang sakit siapanya, siapa namanya?”. “Niki ayah saya, namanya Wayan Srija, saya yang bertanggungjawab, I Putu Sida,” jawab saya. “Bagaimana ayah saya ini, Pak?” saya bertanya serius. “begini Pak, bapaknya terkena penyakit usus buntu yang sudah parah, harus segera dioperasi ini. Sekarang untuk biaya yang harus siapkan Bapak empat juta, itu sudah dapat potongan karena Bapak menggunakan Kartu Miskin.” Begitulah kata dokternya menjelaskan.”

2.2.3.2 Latar Waktu
Dalam Cerpen Ulian Lacur terdapat latar waktu yang disajikan, antara lain: pada waktu  malam hari “Saniscara Kliwon Wuku Kuningan ketika mengantar ayahnya ke puskesmas dan pagi hari ketika I Putu Sida pulang mengambil uang di LPD dengan surat jaminan berupa tanah, jadi latar waktu yang terjadi di Cerpen Ulian Lacur adalah dari hari ke hari.

2.2.3.3 Latar Sosial
Latar sosial yang digambarkan oleh si pengarang dalam Cerpen Ulian Lacur ini meliputi kemiskinan, menghormati orang tua, sopan sama orang lain. Seperti halnya tokoh Putu Sida sebagai tokoh utama yang kehidupannya sangat miskin, tetapi dia sangat menghormati orang tua dan sopan sama orang lain. Berikut kutipannya yang menunjukan hal-hal tersebut:



“Peteng dedet puniki pinaka saksi  sebet kenehé tan kadi-kadi. Ulian nasibé jelék tampi tiang dadi manusa ané tumbuh di guminé tiwas nékték. Yén umpamiang rasané uyah lengis nu makékéh mancan ngidang ngurabang anggo darang nasi. Sané mangkin Hyang Widi né micain pica sané ten ngidang rasané tiang manampi. Yén dadi seselang, pang sesai makita  mamisuh, maseselan. Tuah ja mula niki sampun jalan idupé sané dados peduman.”
Terjemahan:
“Malam gulita ini sebagai saksi sakit keneh yang tak henti-henti. Karena nasib buruk yang saya terima sebagai manusia yang hidup di dunia yang sangat miskin. Kalau diumpamakan rasanya garam dan minyak pun masih susah ngak akan pernah bisa mencampur itu untuk lauk makanan. Yang sekarang Hyang Widi (tuhan) yang memberikan anugrah yang tidak bisa saya terima. Kalau bisa disesali, supaya setiap hari berkeinginan mengeluarkan kata-kata kotor, menyesali, memang inilah sudah jalan hidup yang  saya dapatkan.”

Kutipan diatas menggambarkan kehidupan tokoh utama yang miskin dimana untuk makan saja susah. Selain itu tokoh utama Putu Side juga sangat menghormati orang tuanya hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut
“Yén kéto, mai Pa tiang ngandong. Ajaka ka bidan.” Tiang nyemak bapan tiangé laut ajak ka bidan. Petengé dedet ngaénang tiang ten ngidang énggal majalan. Suba uling tuni listriké mati. Anaké samian sampun madamar sentir. Mémén tiangé nutugin uling duri ngaba brokbok.“Tu, cai ngelah pipis? Mémé nak sing ngelah pipis nang akéténg.” Kénten raos mémén tiangé di subané paek ngajak puskesmasé.“Mémé da ngitungang kéto malu, né penting jani bapa maan ubad. Kanggoang malu jani ngidih tulungan ajak Bu Yani pang banga nganggeh,” punika tiang nyautin.”
Terjemahan:
“Kalau begitu, sini biar saya mengendong ayah. Bawa ke bidan.” Saya mengambil ayah saya lalu bawa ke bidan. Malam sekali menyebabkan saya tidak bisa cepat berjalan. Sudah dari tadi listriknya mati. Semua orang sudah menggunakan lampu sentir. Ibu saya mengikuti dari belakang membawa obor. “Tu, kamu punya uang? Ibu tidak mempunyai uang sepeser pun.” Begitulah kata ibu saya ketika sudah dekat dengan puskesmas. “Ibu jangan memikirkan itu dulu, yang penting sekarang ayah mendapat obat. Untuk sekarang minta bantuan sama Bu Yani supaya dikasi ngutang,” seperti itu saya menjawab.”
           

Kutipan di atas mengamarkan betapa baktinya Putu Sida terhadap orang tuanya yang sedang sakit. Putu seda tidak memikirkan uang untuk biaya obat ayahnya, walau dia tidak punya uang dia tetap berusaha supaya ayahnya bisa sembuh dari sakitnya.

2.2.5 Tema
Tarigan (1984:125) mengatakan bahwa, tema merupakan ide pokok sebuah cerita dan merupakan hal terpenting di dalam satu cipta sastra sebagai tujuan yang ingin disampaikan pengarang kepada penikmat/pembaca lewat karyanya. Tema merupakan satu gagasan sentral yang menjadi dasar dan menjadi tujuan atau amanat yang ingin dicapai oleh pengarang. Setiap karya sastra sudah pasti memiliki ide atau gagasan pokok pengarangnya. Pengarang dalam menulis ceritanya bukan hanya sekedar bercerita, tetapi mau mengatakan sesuatu pada pembacanya                                                (Sumarjo dan Saini. M.K, 1988: 56).
Tema merupakan gagasan, ide atau pikiran yang utama yang mendasari satu karya sastra. Lebih lanjut dikatakan bahwa ada kalanya tema cerita dengan jelas dinyatakan, artinya dinyatakan secara ekplisit/ditampilkan secara langsung, misalnya pada judul cerita, akan tetapi tidak selalu semudah itu mengemukakan tema cerita karena lebih sering tema itu implisit (Semi, 1988:42).
Esten mengatakan ada tiga langkah cara dalam menentukan tema dari suatu karya sastra, yaitu pertama dengan melihat persoalan yang mana yang paling menonjol; kedua, secara kuantitatif persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik yang melahirkan peristiwa-peristiwa; dan ketiga, dengan menentukan atau menghitung waktu penceritaan yang diperlukan untuk menentukan peristiwa atau tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra (1982: 92).
Burhan Nurgiyantoro (2000: 77-79) menggolongkan tema kedalam dua golongan yaitu: tema tradisional dan tema non tradisional. Tema teradisional yang dimaksud adalah tema-tema yang telah lama digunakan dalam penulisan karya sastra dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita-cerita lama seperti misalnya tema kebenaran selalu menang melawan kejahatan, orang yang berbuat jahat pada akhirnya akan sengsara dan sebaliknya orang yang berbuat baik akhirnya akan mendapatkan kebahagiaan. Sedangkan yang dimaksud dengan tema non tradisional adalah tema-tema yang bertentangan dengan perinsip-perinsip dari pada tema tradisional, di dalam tema ini terjadi pertentangan yang walaupun pada kenyataannya dapat terjadi tetapi oleh pembacanya sering dianggap melanggar terhadap kebiasaan-kebiasaan umum di dalam masyarakat, misalnya: seorang tokoh yang baik akan mendapat peran sebagai orang yang kalah dan tertindas serta dalam kehidupannya mengalami kehancuran yang disebabkan oleh orang yang jahat tersebut mendapatkan kekuasaan dan kekayaan.
Tema dalam Cerpen Ulian Lacur disampaikan secara ekplisit atau pengarang menyampaikan tema secara langsung. Dalam hal ini kehidupan tokoh utama Putu Sida  sudah berumah tangga, dimana kehidupannya sangat susah atau miskin. Kemiskinan pula yang menyebabkan ayahnya tidak bisa di tolong dari kematian. Dalam Agama Hindu kemiskinan di sebut dengan daridra.
Dalam sarasamuccaya (2007:280.141-235) juga menjelaskan tentang orang miskin, berikut salah satu kutipannya :
“mrṭo daridah puruṣo mṛtaṁ rājyamarakṣakam, mṛtamacrҫtriyaṁ crāddham mṛto yajnastvadakṣiṇah”.
 Terjemahan:
Orang yang miskin itu adalah sama halnya dengan mati; demikian rastra, yaitu kerajaan yang berwilayahkan luas, berpenduduk banyak, jika tidak mempunyai raja sama dengan mati.
Kutipan di atas menunjukan kalau harta itu adalah segalanya, kemiskinan itu yang menyebabkan kita sengsara hidup di dunia ini. Seperti tokoh utama dalam Cerpen Ulian Lacur ini yang hidup dalam kemiskinan untuk makan minyak sama garam saja susah, dank arena kemiskinannya ia tidak bisa menolong ayahnya, akan tetapi ia sudah berusaha semaksimal mungkin menolong ayahnya.
Dilihat dari semua insiden yang terjadi dalam Cerpen Ulian Lacur dapat disimpulkan bahwa tema utama yang terkandung dalam Cerpen Ulian Lacur adalah, Daridra (kemiskinan). Selain tema utama juag ada tema bawahan seperti bhkti kepada orang tua, perjuangan. Berikut ini juga dijelaskan mengenai amanat yang inggin disampaikan oleh pengaran.

2.2.6 Amanat
Wiyatmi (2006: 49) mengatakan bahwa, Amanat pada dasarnya merupakan pesan yang ingin dismpaikan pengarang kepada pembaca ataupun penikmat satu cipta sastra. Esten (1078: 22) mengatakan setiap karya sastra pasti mempunyai amanat yang merupakan tujuan dari penulisan cerita. Dalam sebuah amanat terdapat suatu cerminan hidup dan cita-cita dari sipengarang. Amanat dapat dituangkan secara implisit (tersirat) dan dapat pula secara ekpilisit (tersurat). Amanat dapat berupa kata-kata mutiara, nasehat kebesaran Tuhan sebagai petunjuk untuk memberikan nasihat (Sukada, 1983:22).
Selain itu Sudjiman juga membedakan antara amanat yang terdapat dalam karya sastra lama (tradisional) dengan amanat yang terdapat dalam karya sastra modern. Biasanya amanat yang terdapat dalam karya sastra lama lebih merupakan sesuatu yang tersurat, sedangkan dalam karya sastra modern disajikan dalam bentuk tersirat (1986: 5).
Dalam Cerpen Ulian Lacur terkandung amanat yang ditampilkan secara ekplisit (tersurat) yang menyatakan Daridra atau kemiskinan adalah sesuatu takdir yang tidak dapat di hindari, seperti yang di alami oleh Putu Sida, karena kemiskinan yang dialaminya sampai-sampai tidak bisa menolong ayahnya dari kematiaan tetapi bukan ia yang membunuh ayahnya. Dan ia sudah berusaha menolong ayahnya. Ia yang tidak menyebabkan penderitaan dan kematian dari makhluk hidup lain, tapi malah berusaha menjaga keselamatan dari makhluk hidup itu, ia akan mendapat kebahagiaan tanpa akhir (Vedasmrti.V.46). ia yang hidupnya melayani makhluk dan membantu meringankan penderitaan semua makhluk hidup akan memperoleh kebahagiaan serta kesejahteraan di bumi dan di surga ia akan di hormati bagaikan dewa (RgVeda.I.125.5).
 Kejadian seperti yang ada dalam Cerpen Ulian Lacur ini, sering terjadi dalam kehidupan kenyataan ini, uang adalah segalanya, tanpa uang kita tidak bisa berbuat apa-apa. Di jaman sekarang ini uang bagaikan nyawa, tanpa uang kita tidak bisa hidup. Seperti itulah yang digambarkan oleh pengarang mengenai zaman sekarang ini
.
2.3 Nilai Etika Hindu Dalam Cerpen Ulian Lacur
2.3.1 Nilai Keagamaan
Pengertian Agama Secara Umum
Agama berasal dari bahasa Sanskrit yang berarti tidak pergi, tidak kocar-kacir, tetap di tempat dan diwariskan secara turun menurun. Ada pula yang mengatakan bahwa “agama” berarti teks, kitab suci, dan berfungsi sebagai tuntunan hidup bagi penganutnya (Faridi, 2002 : 19).
Terkadang Agama juga disebut dengan sebutan “Din” yang dalam bahasa Smit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab mengandung arti menguasai, menundukan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan (Faridi, 2002 : 19).
Berdasarkan kitab, SUNARIGAMA yang memunculkan dua istilah; AGAMA dan UGAMA, agama berasal dari kata A-GA-MA, huruf A berarti “awang-awang, kosong atau hampa”, GA berarti “genah atau tempat” dan MA berarti “matahari, terang atau bersinar”, sehingga agama dimaknai sebagai ajaran untuk menguak rahasia misteri Tuhan, sedangkan istilah UGAMA mengandung makna, U atau UDDAHA yang berarti “tirta atau air suci” dan kata GA atau Gni berarti “api”, sedangkan MA atau Maruta berarti “angin atau udara” sehingga dalam hal ini agama berarti sebagai upacara yang harus dilaksanakan dengan sarana air, api, kidung kemenyan atau mantra.             


Agama merupakan suatu keyakinan yang sangat fundamental yang dapat membimbing manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan. Oleh karena itu ajaran suci agama cenderung kepada pendidikan susila dan budi pekerti manusia yang bukan berakal dan memberi ilmu pengetahuan yang banyak.
Nilai agama dalam karya sastra sesungguhnya dapat disebut sebagai tradisi. Karena unsur-unsur keagamaan memang sangat melekat dalam karya sastra. Kehadiran unsur keagamaan dalam sebuah karya sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Dan pada awal mulanya segala sastra adalah religius, Mangunwijaya (dalam Nurgiyantoro, 1994 : 326).
Menurut Mangunwijaya (dalam Nurgiyantoro, 1994 : 327) Agama itu sendiri lebih menunjukan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiositas, di pihak lain, melihat aspek yang dilubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikan, religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak, formal, dan resmi.
Secara umum agama Hindu di Indonesia dilaksanakan dalam tiga aspek sekaligus. Ketiga aspek agama itu adalah; Tattwa (filsafat), Etika (tata susila), dan Upacara (ritual).
Pengertian diatas selanjutnya akan dipergunakan untuk memaparkan nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam Cerpen Ulian Lacur. Adapun nilai keagamaan yang terkandung dalam Cerpen Ulian Lacur yang khusus dibahas disini adalah  nilai Etika, serta beberapa nilai yang menunjang Cerpen Ulian Lacur antara lain nilai Tattwa dan nilai Upacara.





2.3.2 Nilai Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Etika merupakan satu ilmu yang mempelajari tentang tata nilai, tentang baik-buruk suatu perbuatan, apa yang harus dijalani dan dihindari sehingga tercipta suatu tatanan hubungan antara manusia dengan masyarakat yang dianggap baik, serasi, rukun, dan bermanfaat bagi pribadi seseorang, masyarakat dimana seseorang bertempat tinggal, lingkungan, dan alam sekitarnya yang perlu dipertahankan (Pudja, 1985:57).
Ajaran etika meliputi Tat Twam Asi berasal dari kata “Tat” yang arinya itu (ia), dan “Twam” yang  artinya “kamu” dan “asi” artinya “adalah”. Jadi Tat Twam Asi artinya ia adalah kamu, saya adalah kamu dan semua mahkluk adalah sama. Tat Twam Asi merupakan dasar dari susila. Susila adalah tingkah laku yang baik dan mulia yang selaras dengan ketentuan Dharma (I Gede Wijaya 1984:23).
Selain dijelaskan di atas susila juga dijelaskan dalam kitab suci Sarasamusccaya  . Dalam kitab sarasamusccaya sloka  (160) disebutkan bahwa:                  
sĩlam pradhãnam puruse tadyasyeha pranaçyati
na tasya jĩwitenãrtho buhçĩlam kinprayojanam.
Terjemahan:
Sila adalah yang paling utama (dasar mutlak) pada titisan sebagai manusia, Jika ada perilaku (tindakan) titisan sebagai manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya (hidup, kekuasaan dan kebijaksanaan) jika tidak ada penerapan kesusilaan pada perbuatan (peraktek susila) (I Nyoman Kadjeng 1997:132)


Demikian pula dalam (Sarasamuscaya 16. 163) disebutkan bahwa:
 atmãnamãkhyãti kulĩna yo narah
swa çĩlacãritrkrataih çubhodayaih,
pranastamapyãtmakulam tathã narah
punahprakãyam kurute swasilatah.
Terjemahan:
Tingkah laku yang baik sesungguhnya merupakan sebab orang dikenal keturunan mulia, biarpun silsilah keturunannya sudah tidak ada lagi, asalkan orang itu berlaku susila, akan diketahui pula akan asal keturunan orang itu.

Kutipan sloka diatas, menjelaskan ajaran etika Hindu berkaitan erat dengan karma phala. Baik buruk suatu perbuatan tidak hanya diukur dari tujuan perbuatan yang dilakukan tetapi akibat yang lebih luas pada masyarakat umum. Dengan berpedoman pada ajaran Subha Asubha Karma tujuan digariskan untuk hal mencapai hayu (rahayu)-nya jagat (dunia atau masyarakat) (Pudja, 1979:88).
Dilihat dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa etika merupakan pengetahuan tentang sopan santun atau baik-buruk. Adapun nilai pendidikan etika dalam Cerpen Ulian Lacur adalah seperti dalam kutipan berikut:
“Di subané di aep puskesmas tiang ngetok pintu. “Bu… Bu Yani,” tiang kauk-kauk sambilang ngetok jelané. “Enggih sira drika?” saut ragané sambilanga ngampakang jelan. “Yéh Bli Putu, éngkén nika bapaké?” ragané matakon nyingakin tiang ngandong bapan tiangé. “Kénten Bu, bapan tiang nyakitang basang kanti nglinterin uli tunian,” tiang masaut. “Oh…, mriki bakta ka kamar préksa dumun!” ragané nandanin tiang ngalih ruang préksa.”
Terjemahan:
“Sesampainya sampai di depan puskesmas saya mengetuk pintu. “Bu...Bu Yani,” saya teriak-teriak sambil mengetuk pintu. “Ya siapa di sana?” Jawab dia sambil membuka pintu. “Oh Bli Putu, bagaimana itu ayahnya?” bu yeni bertanya melihat saya menggendong  ayah saya. “Begini Bu, ayah saya sakit perut sampai mules-mules dari tadi,” saya menjawab. “Oh...,sini bawake kamar periksa dulu!” dia memegang tangan saya menuju ruang priksa.”

Kutipan diatas melihatkan etika yang baik yang dilakukan oleh Putu Sida, di mana  Putu Sida mengetuk pintu rumahnya Bu Yani, begitu pula dengan sopan, Putu Side meminta pertolongan kepada Pak Gede, berikut kutipan  yang menunjukan hal tersebut:

“Pak Gedé… Pak Gedé…,” tiang kauk-kauk uli natahné. “Nyén…?” ragané masaut uli tengah sambilanga ngampakang jelan. “Éngkén Tu adi ba peteng nogdog jelan?” kénten ragané matakon. Sebengné suba ngarwanang gedeg kén tiang. “Lédangang Pak Gedé, tiang ba peteng mriki, tiang jagi ngidih tulungan mangkin sareng Pak Gedé. Bapan tiangé sakit sangét mangkin arus ka rumah sakit. Pak Gedé kayun nganter ka rumah sakit?” kénten tiang ngesor ngidih tulungan. “Ngelah pipis cai kar anggon mayah?” saut ragané malih. “Pak, mangkin tiang déréng ngelah jinah, nanging benjang tiang kar ngadep sampi. Kanggoang benjang wawu bayah tiang.”
Terjemahan:
“Pak Gede... Pak Gede...,” saya teriak-teriak dari halaman rumahnya. “Siapa...?” dai menjawab dari dalam sambil membuka pintu. “Kenapa Tu..kok sudah malam ngetuk pintu?” begitu dia bertanya. Raut mukanya rengas marah sama saya. “Maaf Pak Gede, sayasudah malam kesini, saya mau minta tolong sekarang sama Pak Gede. Ayah saya sakit parah sekarang harus ke rumah sakit. Pak Gede bisa mengantar ke rumah sakit?” begitu saya, memohon minta pertolongan. “Punya Uang kamu untuk membayar?” jawab dia lagi. “Pak sekarang saya belum punya uang, tetapi besok saya akan menjual sapi. Terima besok baru bayar saya.”
                       


Dalam kutipan diatas jelas sekali tampak selalu mengutamakan ajaran Karma Sanyasa yang didasari dengan ajaran etika berupa ajaran Yama dan Niyama Brata, yang merupakan ajaran mengenai pengendalian diri dalam bentuk perbuatan untuk dapat mencapai kesempurnaan lahir dan kesucian bathin. Ajaran Dasa Yama Brata meliputi : (1). Anresangsya (tidak mementingkan diri sendiri), (2). Ksama (tahan dan tenang menerima baik dan buruknya sesuatu yang datang pada dirinya), (3). Satya (setia dan jujur pada kewajiban), (4). Ahimsa (tidak melakukan pembunuhan dan selalu berbuat untuk kebahagiaan semua mahluk), (5). Dama (penyabar dan pandai menasehati diri sendiri), (6). Arjawa (tulus hati dan berterus terang), (7) Priti (welas asih terhadap semua mahluk), (8) Prasada (memiliki hati yang jernih), (9). Madhurya (selalu bermuka dan berkata manis terhadap sesama), (10). Mardawa (kelembutan hati dan rendah hati). Kutipan diatas menjelaskan sikap tokoh utama pada saat minta pertolongan kepada Pak Gede untuk mengantarkan ayahnya ke rumah sakit. Selain nilai tersebut di Cerpen Ulian Lacur ini juga dijelaskan nilai ritual.


2.3.3 Nilai Tattwa atau Filsafat
Filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan merupakan satu bagian integral dari agama di India. Filsafat merupakan pencarian rasional ke dalam sifat kebenaran atau realitas, yang memberikan pemecahan yang jelas guna menunjukan permasalahan-permasalahan yang alus dari kehidupan (Sri Swami Sivananda 2003: 172).
Weda merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam Weda terkandung pandangan filsafat Hindu dan pandangan dunia yang dijadikan pedoman oleh umat Hindu. Weda merupakan sumber dari sumber-sumber pikir yang mempengaruhi pandangan dan sikap hidup umat Hindu. Umat Hindu menganggap filsafat ketuhanan (tattwa/darsana) sebagai bagian dari Weda  (Santeri, 2000:3). Keyakinan umat Hindu terhadap Tuhan/Ida Sanghyang Widhi Wasa didasarkan atas Sradha atau keyakinan.
Seperti dikatakan bahwa agama Hindu secara filosofis dinilai berkembang dari politeisme dengan banyak Dewa, menuju henoteisme dengan masih banyak Dewa, dan pemberian banyak nama atau penyebutan terhadap Baliau. Pemberian nama ini tergantung dari barbagai hal, salah satunya berdasarkan keyakinan kita sebagai umat beragama. Demikian juga halnya dalam Cerpen Ulian Lacur, dimana setiap umat beragama memiliki keyakinan sendiri dalam mengekpresikan dan mempersonifikasikan Tuhan dengan banyak nama sesuai dengan manifestasi-Nya dan  keyakinan masing-masing. Seperti yang di ucapkan oleh Putu Sida dalam kutipan berikut:
“Peteng dedet puniki pinaka saksi  sebet kenehé tan kadi-kadi. Ulian nasibé jelék tampi tiang dadi manusa ané tumbuh di guminé tiwas nékték. Yén umpamiang rasané uyah lengis nu makékéh mancan ngidang ngurabang anggo darang nasi. Sané mangkin Hyang Widi né micain pica sané ten ngidang rasané tiang manampi. Yén dadi seselang, pang sesai makita  mamisuh, maseselan. Tuah ja mula niki sampun jalan idupé sané dados peduman.”
Terjemahan:
“Malam gulita ini sebagai saksi sakit keneh yang tak henti-henti. Karena nasib buruk yang saya terima sebagai manusia yang hidup di dunia yang sangat miskin. Kalau diumpamakan rasanya garam dan minyak pun masih susah ngak akan pernah bisa mencampur itu untuk lauk makanan. Yang sekarang Hyang Widi (tuhan) yang memberikan anugrah yang tidak bisa saya terima. Kalau bisa disesali, supaya setiap hari berkeinginan mengeluarkan kata-kata kotor, menyesali, memang inilah sudah jalan hidup yang  saya dapatkan.”
Kutipan diatas sangat jelas menyatakan bahwa Putu Sida adalah seorang yang beragama hindu, karena menyebutkan Hyang Widi yang sama artinya dengan Sang Hyang Widi Wasa yaitu Tuhan. Disini menjelaskan bahwa Tuhan memiliki banyak nama.








BAB III
PENUTUP

3.1Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah yang berjudul Unsur-unsur Instrinsik dan Aspwk Nilai Etika dalam Cerpen Ulian Lacur ini adalah sebagai berikut:
v  Pengertian Kesusastraan Bali
Kesusastraan Bali berati segala hasil karya cipta sastra yang mempergunakan bahasa Bali sebagai media komunikasinya, dan memuat tentang kehidupan masyarakat Bali secara imajinatif. kesusastraan Bali dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: Sastra Bali Tradisional (Prosa Fiksi-Gancaran) yang terdiri dari legenda, mitos, epos, dongeng, hikayat, sastra kitab, dan tutur (ujaran rakyat) serta tahayul (kepercayaan), Sastra Bali Modern (Prosa Fiksi- Gancaran Anyar) yang terditi dari cerpen dan novel, dan Cerita Rakyat Bukan Lisan. Maka Cerpen merupakan cerita yang tidak benar-benar terjadi yang diciptakan oleh seorang pengarang yang meliputi ide, semesta, tokoh-tokoh, insiden, alur, dan tema secara imajiner dan imajinatif, (terutama kejadian dijaman dahulu ataupun dimasa modern seperti saat ini).

v  Unsur Intrinsik dalam Cerpen Ulian Lacur
Unsur  intrinsik  Cerpen Ulian Lacur terdiri atas insiden, alur/plot, tokoh penokohan, latar atau seting, tema dan amanat. Struktur naratif Cerpen Ulian Lacur tersebut bersama-sama membangun satu kesatuan yang utuh dan padu secara kausal, struktural.
ü  Adapu insiden yang terjadi dalam Cerpen Ulian Lacur terjadi secara wajar dan logis, sehinga kesan yang dihasilkan sangat nyata. Dimaana pengarang menyajikan insiden ini sesuai dengan kehidupan pada zaman sekarang, yang sangat mementingkan materi.
ü  Alur yang ditampilkan oleh pengarang dalam Cerpen Ulian Lacur adalah alur lurus, yang cukup panjang, di mana diawali dengan Situation (pengarang melukiskan suatu keadaan) dan kemudian dilanjutkan dengan adanya paparan (exposition), climak (pemuncakan) dan resulusi (pemecahan permasalahan) dalam perkembangan alurnya, sampai cerita selesai
ü  Kajian tokoh dan penokohan dalam Cerpen Ulian Lacur, tidak semua tokohnya dapat dibicarakan secara khusus, tetapi hanya terbatas pada tokoh utama dan tokoh bawahannya saja. Tokoh bawahan dalam Cerpen Ulian Lacur ini adalah: Istri Putu Sida, Istrinya Wayan Srija, Bu Yani, dan Pak Gede, sedangkan tokoh utamanya adalah Putu Sida. dan Pak Dokter sebagai tokoh pelengkap (komplementer).
ü  Tema yang terkandung dalam Cerpen ulian Lacur adalah Daridra yang artinya kemiskinan. Tema disajikan oleh pengarang  secara ekplisit (tersirat), selain tema utama itu juga ada tema yang mendukung tema utama antara lain: bhkti kepada orang tua, perjuangan. Semua itu dapat dilihat dari tokoh utamanya.
ü  Amanat yang ditampilkan secara ekplisit (tersurat) yang menyatakan Daridra atau kemiskinan adalah sesuatu takdir yang tidak dapat di hindari, seperti yang di alami oleh Putu Sida, karena kemiskinan yang dialaminya sampai-sampai tidak bisa menolong ayahnya dari kematiaan. Kejadian seperti yang ada dalam Cerpen Ulian Lacur ini, sering terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya, materi yang berupa uang sangat penting, uang segalanya pada zaman sekarang tanpa uang tidak bisa berbuat apa-apa. Seprti itu yang digamarkan oleh pengarang mengenai zaman sekarang.

v  Aspek Nilai  Dalam Cerpen Ulian Lacur
Nilai-nilai yang terkandung dalam Cerpen Ulian Lacur dapat dilihat dari perilaku tokoh utamanya. Selain nilai etika juga terkandung nilai keagamaan yang meliputi nilai filsafat.




5.2 Saran
1.      Bagi pengarang. Karya sastra berupa cerpen Bali modern merupakan satu bentuk cipta sastra yang dihasilkan oleh para pengawi Bali. Maka dari itulah karya sastra Bali modern seperti itu perlu ditingkatkan produtifitasnya agar dapat dinikmati oleh masyarakat, baik dari kalangan akademis maupun dari kalangan non akademis. Maka dari itu sangat diharapkan akan adanya pencetakan ulang agar novel ini bisa lebih mudah didapat. Demikian pula agar para pengarang yang lain diaharapkan lebih banyak berkarya dengan menuangkan ide-ide brilyannya dalam manciptakan karya sastra berupa novel berbahasa Bali.
2.      Bagi mahasiswa. Cerpen Ulian Lacur merupakan karya sastra besar yang patut untuk dinikmati karena mengandung amanat atau pesan moral dan menjunjung nilai-nilai keagamaan dan anggah-ungguhin bahasa Bali yang patut untuk dijadikan pedoman bagi generasi muda dikalangan akademis dan dapat dijadikan reprensi untuk menambah wawasan tentang karya sastra.
3.      Bagi masyarakat. Sebagai masyarakat Bali diharapkan agar dapat menikmati keberadaan karya sastra Bali berupa cerpen. Karena dalam karya novel Bali Modern banyak mengandung nilai keagamaan, serta kebahasaan khususnya bahasa Bali yang dapat dijadikan pembelajaran dan pedoman dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.





















DAFTAR PUSTAKA
Sivananda Sri Swami. 2003. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita.
Putu Antara I Gusti. 2008. Prosa Fiksi Bali Tradisional. Singaraja: Yayasan Gita Wandawa.
Kajeng I Nyoman. 2010. Sarasmuccaya. Surabaya: Paramita.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Memahami Karya Sastra. Jakarta: Perc. Gramedia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000),



No comments:

Post a Comment