BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra cerpen yang berbahasa
Bali merupakan suatu hasil kebudayaan/karya sastra orang Bali yang dianggap
mampu memberikan cerminan atau pegangan dalam kehidupan. Teeuw dalam (Antara,
2005:1-5) mengatakan bahwa, suatu karya satra itu sebenarnya merupakan mimesis (gambaran dari masyarakat).
Pendapat Beliau tidak jauh berbeda dengan tulisan Sutan Takdir Alisyahbana,
Beliau mengatakan bahwa karya sastra sebenarnya merupakan cerminan kehidupan
masyarakat.
Sastra daerah sebagai bagian dari
kebudayaan daerah merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya. Karena
sastra daerah merupakan media yang secara tidak langsung melestarikan
nilai-nilai, gagasan vital serta keyakinan yang berlaku dalam masyarakat (
Santoso dalam Nuarca dkk, 1984- 1985 : 1).
Golman mengemukakan dua pendapat mengenai
karya sastra pada umumnya, 1) bahwa karya sastra merupakan ekpresi pandangan
dunia secara imajiner. 2) bahwa dalam usaha mengekpresikan pandangan dunia itu
pengarang menciptakan semesta, tokoh-tokoh, obyek-obyek, dan relasi-relasi
secara imajiner (Taum, 2003:17).
Sastra dalam fungsinya sebagai gejala
kemasyarakatan dan kebudayaan. Sastra tidak dapat diteliti dan dipahami secara
ilmiah tanpa mengikutsertakan aspek kemasyarakatannya, yaitu tanpa
memandanginya sebagai tindak komunikasi, atau dengan istilah lain tanpa
mendekati sastra sebagi tanda, sign,
atau dengan istilah yang sekarang sangat luas dipakai, sebagai gejala semiotik
(Hartoko, 1984:43). Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
karya sastra merupakan (mimesis)
gambaran dari masyarakat yang dituangkan oleh seorang pengarang dalam bentuk,
novel secara imajiner.
Karya sastra yang diciptakan oleh seorang
pengarang merupakan refleksi imajinasi yang menggambarkan tentang situasi
kehidupan masyarakat sekitar ataupun yang berkaitan dengan nilai-nilai
keagamaan dan mengandung pesan moral yang ingin disampaikan oleh sipengarang
kepada masyarakat luas, karena pengarang sendiri merupakan bagian dari
masyarakat, demikian pula sebagai individu.
Sastra adalah suatu bentuk dan hasil
pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan
menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sebagai karya kreatif, sastra mampu
melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan
manusia. Sehingga karya sastra merupakan salah satu hasil kebudayaan secara
luas. Oleh karena, sastra merupakan hasil ciptaan manusia yang mana manusia
sebagai pembuat kebudayaan, pendukung dari kebudayaan itu sendiri dan sekaligus
pelestari dari apa yang telah diciptakannya (Semi, 1988:8).
Istilah
kesusastraan dibentuk
dari susunan:
ke-su-sastra-an. Kata sastra berasal
dari bahasa sansekerta castra dimana
terdiri dari dua kata cas yang
artinya ajar dan tra yang artinya alat untuk.
Jadi castra berati alat untuk
belajar, sedangkan susastra berati
isi tulisan yang indah (I Gusti Putu Antara 2008: 1)
Kesusastraan Bali berati segala hasil karya cipta sastra yang
mempergunakan bahasa Bali sebagai media komunikasinya, dan memuat tentang
kehidupan masyarakat Bali secara imajinatif (I Gusti Putu Antara 2008: 2).
Kesusastraan Bali dapat dibagi atas beberapa bagian. Tergantung dari segi apa
sastra itu dilihat. Sebagai gamaran umum, kesusastraan Bali dapat dibagi
menjadi tiga bagian yaitu:
1. Sastra
Bali Tradisional (Prosa Fiksi-Gancaran) yang terdiri dari legenda, mitos, epos, dongeng, hikayat, sastra kitab, dan tutur (ujaran
rakyat) serta tahayul (kepercayaan)
2. Sastra
Bali Modern (Prosa Fiksi- Gancaran Anyar) yang terditi dari cerpen dan novel
3. Cerita
Rakyat Bukan Lisan.
Prosa sebagai salah satu genre sastra
memiliki kaitan dengan kesastraan itu sendiri. Dalam kesastraan, prosa
tergolong sebagai karya sastra yang disebut fiksi. Istilah fiksi dalam hal ini
dapat diartikan sebagai cerita rekaan atau hayalan. Hal itu disebabkan karena
fiksi merupakan sebuah karya naratif yang isinya tidak menyarankan pada
kebenaran sejarah, Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1994). Cerpen merupakan cerita yang tidak
benar-benar terjadi yang diciptakan oleh seorang pengarang yang meliputi ide,
semesta, tokoh-tokoh, insiden, alur, dan tema secara imajiner dan imajinatif,
(terutama kejadian dijaman dahulu ataupun dimasa modern seperti saat ini).
Dalam cerita fiksi, pengarang menghayati
permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Maka dari pada
itulah tidak jarang dalam sebuah karya fiksi (cerpen, novel, dsb.) terdapat
berbagai aspek nilai seperti nilai agama, nilai logika, nilai etika, ataupun
nilai estetika. Dan bahkan setiap karya sastra memiliki satu atau lebih
diantara keempat aspek nilai tersebut. Jika ditinjau dari bentuk, kesusastraan
Bali dapat dibagi menjadi dua yakni, kesusastraan Bali Tradisional atau yang
lebih dikenal dengan kesusastraan Bali
Purwa dan kesusastraan Bali Modern.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang
di atas dapat diperoleh gambaran bahwa cerpen Ulian Lacur menarik untuk dikaji dari unsur intrinsik, dan nilai pendidikan hindu
yang terkandung didalamnya, sehingga dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah
unsur intrinsik cerpen
Ulian Lacur?
b. Aspek nilai apa yang terkandung
dalam cerpen Ulian Lacur?
1.3 Tujuan
a. Untuk
mengetahui unsur
intrinsik cerpen yang berjudul Ulian Lacur.
b. Untuk
mengetahui dan memahami aspek nilai yang
terkandung dalam cerpen
yang berjudul Ulian Lacur.
1.4 Manfaat Makalah
Adapun manfaat dari makalah ini adalah
sebagai berikut :
a. Bagi
pembaca, dapat memberikan informasi dan pemahaman mengenai karya sastra Bali
modern dalam bentuk cerpen.
b. Bagi
peneliti, dapat dijadikan acuan bagi para pembuat makalah berikutnya terhadap
karya sastra cerpen Bali modern.
c. Bagi
masyarakat, diharapkan dapat memberikan suatu pemahaman tentang nilai etika hindu
yang terkandung dalan cerpen Bali modern.
BAB
II
PEMBAHASAAN
2.1 Sinopsis
Putu Sida berasal dari Banjar Batu, ayahnya bernama Wayan Srija. Setelah Putu Sida selesai mengikuti rapat
di balai banjar yang merapatkan tentang
upacara pengabenan yang akan dilaksanakan dua bulan lagi. Sesampainya di rumah Putu
Sida merasa sangat
lapar sekali dan ia
langsung menuju ke dapur. Di dapur Putu
Sida melihat istrinya sedang mengoreng ikan teri.
Putu Sida mengambil ikan teri itu satu
sendok. Sedang enaknya makan, Putu Sida
mendengar ada suara orang yang berjalan cepat di selatan rumahnya. Jalannya
semakin cepat menuju ke halaman rumah. Ternyata yang datang adalah ibunya memberi
tahu ke pada Putu Sida bahwa ayahnya sedang
sakit
perut dan sudah sangat parah. Putu Sida
segera membawa ayahnya ke puskesmas, tetapi karena penyakit usus buntu yang di derita ayahnya
sudah sangat parah, maka di
rujuk ke rumah sakit. Putu Sida pun segera meminta tolong kepada Pak Gede untuk
mengantar ayahnya ke rumah sakit. Putu Sida sangat binggung memikirkan biaya
yang akan diperlukan untuk ayahnya, padahal sekarang Putu Sida tidak mempunyai
uang sepeser pun.
Putu Sida di rumah sakit segera membawa
ayahnya ke ruangan kelas tiga ekonomi. Dokter mengatakan bahwa ayahnya Putu
Sida menderita penyakit usus buntu yang sangat parah harus secepatnya
dioperasi, Putu Sida di suruh menyediakan uang sebanyak empat juta, Putu Sida
sangat bingung karena tidaak mempunyai uang, dan tanpa tersedia uang empat juta ayahnya
tidak akan dioperasi.Putu Sida sampai memohon ke pada dokter supaya ayahnya
dioprasi dulu, tetapi dokter menolak permohonan Putu Sida.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Putu
Sida pulang untuk meminjam
uang di LPD dengan jaminan surat tanah, Putu Sida mendapatkan uang sebesar lima
juta dari LPD. Putu Sida segera membawa uang sebesar lima juta itu ke rumah
sakit, tetapi sesampainya di rumah sakit, Putu Sida terkejut melihat ayahnya sudah kaku dan telah meningal.
2.2 Unsur-Unsur Intrisik
dalam Cerpen Ulian Lacur
Menurut Sukada (1982:15), menyatakan bahwa
analisis aspek intrisik adalah analisis mengenai unsur-unsur yang secara
keseluruhan membangun struktur karya sastra prosa tersebut. Unsur-unsur itu
terdiri dari atas insiden,plot (alur cerita), karakter, dan amatnat.
Sedangkan menurut Tarigan (1978 :66-91)
menyebutkan struktur pada intinya meliputi :tokoh, alur, latar, watak, tema,
dan teknik/gaya bahasa. Aminudin (dalam Surya, 2008:9) menyebutkan bahwa
struktur dibentuk oleh: setting, gaya bahasa, penokohan atau perwatakan, alur,
titik pandang, dan tema. Dari beberapa pendapat tersebut mampu memberikan
pandangan bahwa struktur atau aspek intrisik sebuah karya sastra terdiri dari
beberapa komponem. Sehingga dalam menelaah struktur naratif sebuah cerpen ini
akan di bahas ke dalam enam pokok bahasan yaitu: insiden, alur/piot,
latar/setting, tokoh dan penokohan,tema dan amanat.
Berdasarkan beberapa uraian tentang
kajian struktur karya sastra diatas, maka dapat dikemukakan dan dipaparkan unsuur intrinsik cerpen
yang berjudul Ulian Lacur. Dalam pembahasannya
unsur intrinsik ini akan
diawali dengan analisis insiden,
kemudian alur, tokoh penokohan, latar, tema, dan amanat dalam Cerpen Ulian Lacur.
2.2.1 INSIDEN
Insiden memegang peran yang sangat
penting dalam menentukan arah alur atau plot dari sebuah cerita. Panuti Sudjiman (1990: 37), menjelaskan insiden
adalah suatu kejadian atau peristiwa yang menjadi bagian pilihan dari lakuan yang dirangkaikan
dengan cara tertentu merupakan episode dalam alur. Insiden adalah
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita
tidak tergantung dari panjang atau pendek, yang secara menyeluruh membangun
kerangka struktur cerita (Sukanda, 1985:80). Peristiwa-peristiwa tersebut
terjadi karena adnya gerakan, tindakan dalam suatu situasi oleh adanya tokoh
(pelaku) yang bertindak.
Insiden adalah peralihan dari keadaan
yang satu kepada keadaan yang lain. Peristiwa didalam sebuah cerita dapat
mengacu kepada pertumbuhan alur atau plot. Seleksi tersebut dikelompokkan
dalam:
a) peristiwa
fungsional yaitu peristiwa-peristiwa yang secara menentukan mempengaruhi
perkembangan alur atau plot.
b) peristiwa
kaitan yaitu peristiwa kecil yang mengaitkan peristiwa utama.
c) peristiwa
acuan yang tidak langsung mempengaruhi perkembangan alur tau plot.
d) hubungan antara peristiwa yaitu pengaturan
kelompok-kelompok peristiwa atau episode yang ditemukan kemudian disaring agar
ditemukan peristiwa pokok.
Berdasarkan beberapa pengertian insiden
diatas, sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan insiden adalah,
rangkaian peristiwa atau kejadian dalam suatu cerita rekaan yang disajikan
dengan urutan tertentu sehingga membangun atau membentuk sebuah alur atau plot.
Dari uraian di atas maka insiden yang
terjadi dalam Cerpen Ulian Lacur adalah
sebagai berikut :
Ø Insiden pertama:
“Sedeng tiang seleg ngajeng, dingeh tiang wénten
suaran anak majalan éncol pisan di delod umahé. Pajalané ngancan becat ngalih
natahé.
“Putu… Putu… Wayan… Yan…,” kénten anaké nika kauk-kauk
di subané neked di aep umahé.
“Yéh Mémé, kénkén sampun peteng kauk-kauk?” tiang
matakon éran nepukin abahné mémé buka kéto
“Yan Bapan cainé nyakitang basang uling tunian
kanti malisah.” Saut ragané kanti angkih-angkih ulian malaib wawu.
“Men apa ladné maan ajenga ajak Bapa?” tiang malih
matakon jejeh.
“Sing ja maan ngajeng apa, tuah nasi séla ajak jukut
gedang dogén.” Saut ragané malih.
“Nah, nah ajak ka bidan jani dajané.” Kéto munyin
tiangé saha malaib ka umah ba delod.”
Terjemahaan:
“Sedang
enaknya saya makan, saya dengar ada suara orang berjalan cepat-cepat di selatan
rumah saya. Jalannya
semakin cepat menuju halaman rumah.
“Putu...
Putu...Wayan... yan...,” seperti itulah orang itu teriak-teriak sesampainya di depan
rumah saya.
“Yeh Ibu,
ada apa malam-malam gini
teriak-teriak?” Saya bertanya
heran melihat sikap ibu seperti itu.
“Yan Ayah
kamu sakit perut dari tadi kesakitan”. Jawabnya terengah-engah
karena habis berlari tadi.
“Terus apa
yang tadi di makan ayah?” saya kembali bertanya takut.
“ Tidak
dapat makan apa, cuma nasi ketela sama sayur pepaya saja.” Jawab dia lagi.
“Ya, ya bawa
sekarang ke bidan di utara.” Begitulah kata saya sambil berlari ke rumah di
selatan.”
Kutipan diatas menjelaskan bahwa Putu Sida
mendapatkan informasi dari ibunya tentang ayahnya yang sedang sakit
perut yang sudah
sangat parah. Putu Sida pun berlari ke rumah ibunya yang di selatan dan membawa
ayahnya ke bidan.
Ø Insiden kedua:
“Aduh… aduh…, Bu tiang tan ngidang naanang,”
bapan tiang nuuh sambilanga ngeling.
“Pak Putu, niki bapak kena
pinyungkan usus buntu, arus aba ka rumah sakit. Mangkin! Mrika ngrereh montor
dumun tiang prasida nyarengin. Yén ten kénten tiang jejeh nyanan bapa
nyangetang laut tan katulung.” Raos bidan seken pesan.
Runtag bayun tiangé ningehang raosé
ento. Tiang inguh uli dija tiang kar ngamolihang jinah. Yén sampiné adep,
ngelah tuah abesik ban ngadas ento kar anggo mayah turunan. Budi nyilih, dija
lakun. Nanging jani suba sing ada jalan lén yan sing sampiné adep. Baat asané
batisé matindakan nanging ulian kapepet neked masi tiang di umah Pak Gedé ané
ngelah montor.”
Terjemahan:
“Aduh...aduh...,Bu
saya tidak bisa menahan,” ayah saya merintih sambil menangis.
“Pak Putu,
ini bapak kena penyakit usus buntu, arus di bawa ke rumah sakit. Sekarang!
Kesana dulu mencari mobil saya bersedia ikut. Kalau tidak begitu saya kuwatir
entar bapak tambah parah lalu tidak dapat di bantu.” Kata bidan serius sekali.
Gemetaran saya
mendengarkan kata-kata itu. Saya gelisah dari mana saya mendapatkan uang. Jika
menjual sapi, Cuma punya satu sebagian milik orang itu mau dipakai bayar yuran.
Mau minjem, dimana minjem. Tetapi sekarang sudah tidak ada jalan lagi kalau
tidak menjual sapi. Berat rasanya kaki ini berjalan tetapi karena terdesak
sapai juga saya di rumah Pak Gede yang mempunyai mobil.”
Di insiden
ini menjelaskan terjadinya kegelisahan
dan kebinggungan Putu Sida karena
mendengar bahwa ayahnya sakit usus buntu. Dan Bu Yani menyarankan untuk di bawa
kerumah sakit ayahnya, jika tidak di bawa ke rumah sakit ayahnya tidak akan
tertolonng.
Ø Insiden ketiga:
“Bapak saking napi?” dokter matakon.
“Tiang saking Banjar
Batu, Pak,” tiang nyautin.
“Men niki ané sakit
sirané, sira wastané?”.
“Niki bapan tiang, wastané Wayan Srija. Tiang sané
nanggungjawabang, I Putu Sida,” saut tiang.
“Kénkén Bapan tiangé niki, Pak?” tiang matakon
nyekenang.
“Puniki Pak, bapaké kena pnyungkan usus buntu sané
ampun parah, arus dioperasi secepatné niki. Mangkin unduk biaya sané arus sediang
Bapak petang juta, nika sampun polih potongan sawiréh Bapak nganggo kartu
miskin.” Punika raos dokteré nyelasang.”
Terjemahan:
“Bapak
dari mana?” dokter bertanya.
“Saya dari desa
Batu,” saya menjawab.
“
Terus ini
yang sakit siapanya, siapa namanya?”.
“Ini ayah saya,
namanya Wayan Srija, saya yang bertagungjawab, I Putu Sida,” jawab saya.
“Bagaimana
ayah saya ini, Pak?” saya bertanya serius.
“Begini Pak,
bapaknya terkena penyakit usus buntu yang sudah parah, harus segera dioperasi
ini. Sekarang untuk biaya yang harus siapkan Bapak empat juta, itu sudah dapat
potongan karena Bapak menggunakan Kartu Miskin.” Begitulah kata dokternya
menjelaskan.”
Pada insiden
ini menjelaskan tentang seorang dokter yang memeriksa ayah Putu Sida yang memberi tahu bahwa ayahnya menderita sakit usus buntu
yang sudah sangat parah dan harus segera di operasi. Putu Sida di haruskan menyediakan dana operasi sebesar empat juta.
Ø
Insiden keempat :
“Semengan pesan tiang ampun numpang bis mulih ka désa.
Sadurungé mulih tiang mabesen kén mémé mangda becik-becik nongosin bapa dini.
Neked di désa, tiang ka LPD nyelang jinah nganggo wala
surat tanah. Tiang polih jinah limang juta. Mulih uli LPD, tiang malih ka rumah
sakit makta jinah ka pegawai administrasi. Nanging sadurungé mrika tiang
nengokin bapa ka kamar. Ring kamar dapetang tiang mémé suba bengong. Angkian
tiangé sarasa nyat nyingakin bapan tiang suba makudung kekeh sing maangkian.
“Bapa…!!!”
Terjemahan:
“Pagi-pagi
sekali saya sudah naik bis pulang ke desa. Sebelum pulang saya berpesan kepada
ibu supaya baik-baik nungguin ayah disini.
Sampai di rumah, saya ke LPD meminjem uang
menggunakan jaminan surat tanah. Saya mendapatkan uang lima juta. Pulang dari
LPD, saya kembali ke rumah sakit membawa uang ke pegawai administrasi. Namun
sebelum kesana saya melihat ayah ke kamar. Di kamar lihat saya ibu sudah
melamun. Napas saya merasa habis melihat ayah saya sudah mesaput kaku tidak
bernapas. “Ayah...!!!”
Pada insiden
ini menjelaskan tentang kepulangan Putu Sida ke desa untuk mengambil uang
dengan cara meminjam di LPD menggunakan jaminan surat tanah. Putu Sida
mendapatkan pinjaman sebesar lima juta dari LPD. Tetap dengan uang yang
dibawanya itu Putu Sida terlambat membantu ayahnya, sehingga ayahnya meninggal.
Insiden diatas merupakan insiden sentral
yang terjadi dalam Cerpen Ulian Lacur sehingga dilihat dari
insiden dapat membentuk sebuah alur. Berikut ini akan disajikan analisis alur/plot yang terdapat dalam Cerpen
Ulian Lacur.
2.2.2 Alur / Plot
Alur merupakan konstruksi mengenai
sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan yang
diakibatkan dan dialami oleh pelaku (Luxemburg, 1986: 149).Plot tidak hanya
mengemukakan apa yang terjadi tetapi yang lebih penting adalah menggambarkan
mengapa hal itu terjadi. Intisari plot adalah konflik atau plot berpusat pada
adanya konflik. Dalam sebuah cipta sastra, alur atau plot merupakan bagian dan kerangka
dasar yang sangat penting. Alur mengatur tindakan. Tindakan yang satu bertalian
dengan yang lain. Tokoh-tokoh harus digambarkan dan berperan dalam
tindakan-tindakan itu, dan bagaimana situasi dan perasaan karakter (tokoh) yang
terlibat dalam tindakan-tindakan itu yang terikat dalam satu kesatuan waktu
(Keraf,1980:184).
Alur adalah rangkaian peristiwa yang
disusun berdasarkan atas hubungan sebab akibat (kausalitas). Secara
garis besar alur dibagi menjadi tiga bagian, yaitu awal, tengah, dan akhir.
Sayuti (dalam Wiyatmi, 2006:36).
Menurut Atmazaiki (1990: 60) alur
digolongkan menjadi dua. Secara umum alur dalam suatu cerita dibedakan atas dua
bagian yaitu: alur tradisional dan alur konvensional. Alur yang menderetkan
rangkaian peristiwa mulai dari pengenalan, mulai bergerak, menuju puncak, di
puncak dan akhir penyelesaian disebut alur
tradisional. Sedangkan alur yang tidak terikat kepada sistem perderetan peristiwa seperti pada alur
tradisional disebut alur konvensional.
Tarigan (1986: 128) mengemukakan lima
unsur yang menyebabkan alur berkembang, sehingga perkembangan alur sebuah fiksi
sesuai dengan perkembangan alur dalam cerita. Kelima unsur alur yang dimaksud
yaitu:
1. Situation
(pengarang melukiskan suatu keadaan).
2. Generation
circumastances (peristiwa mulai
bergerak).
3. Rising action
(keadaan yang mulai memuncak).
4. Climaks
(peristiwa mencapai puncak).
5. Denoument
(pemecahan persoalan dari peristiwa-peristiwa).
Dilihat dari beberapa pengertian alur
atau plot diatas, Cerpen Ulian Lacur menggunan alur atau plot
lurus, yang cukup panjang, di mana diawali dengan Situation dan kemudian dilanjutkan dengan adanya paparan, climaks dan denoument dalam
perkembangan alurnya, sampai cerita selesai.
Cerpen
yang berjudul Ulian Lacur menggunakan
alur lurus yang diawali dengan Situation ,dimana Putu Sida yang
selaku tokoh utama dijelaskan memiiki suatu keadaan ekonomi yang kurang, di dalam
menghadapi kehidup sehari-hari. Berikut kutipan hal yang menunjukan seperti
itu:
“Peteng dedet puniki pinaka saksi sebet kenehé
tan kadi-kadi. Ulian nasibé jelék tampi tiang dadi manusa ané tumbuh di guminé
tiwas nékték. Yén umpamiang rasané uyah lengis nu makékéh mancan ngidang
ngurabang anggo darang nasi. Sané mangkin Hyang Widi né micain pica sané ten
ngidang rasané tiang manampi. Yén dadi seselang, pang sesai makita
mamisuh, maseselan. Tuah ja mula niki sampun jalan idupé sané dados peduman.”
Terjemahan:
“Malam
gulita ini sebagai saksi sakit keneh yang tak henti-henti. Karena nasib buruk
yang saya terima sebagai manusia yang hidup di dunia yang sangat miskim. Kalau
diumpamakan rasanya garam dan minyak pun masih susah ngak akan pernah bisa mencampur
itu untuk lauk makanan. Yang sekarang Hyang Widi (tuhan) yang memberikan
anugrah yang tidak bisa saya terima. Kalau bisa disesali, supaya setiap hari
berkeinginan mengeluarkan kata-kata kotor, menyesali, memang inilah sudah jalan
hidup yang saya dapatkan.”
Di bawah ini alur sudah memasuki tahap Generation
circumastances yang yang
dapat di lihat dalam kutipan berikut:
“Sedeng tiang seleg ngajeng, dingeh tiang wénten
suaran anak majalan éncol pisan di delod umahé. Pajalané ngancan becat ngalih
natahé.
“Putu… Putu… Wayan… Yan…,” kénten anaké nika kauk-kauk
di subané neked di aep umahé.
“Yéh Mémé, kénkén sampun peteng kauk-kauk?” tiang
matakon éran nepukin abahné mémé buka kéto.
“Yan Bapan cainé nyakitang basang uling tunian
kanti malisah.” Saut ragané kanti angkih-angkih ulian malaib wawu.
“Men apa ladné maan ajenga ajak Bapa?” tiang malih
matakon jejeh.
“Sing ja maan ngajeng apa, tuah nasi séla ajak jukut
gedang dogén.” Saut ragané malih.
“Nah, nah ajak ka bidan jani dajané.” Kéto munyin
tiangé saha malaib ka umah ba delod.”
Terjemahaan:
“Sedang
enaknya saya makan, saya denger ada suara orang berjalan cepat-cepat di selatan
rumah. Jalannya semakin cepat menuju halaman rumah.
“Putu... Putu...Wayan... yan...,” seperti
itulah orang itu teriak-teriak di sudah sampai di depan rumah.
“Yeh Ibu,
ada apa sudah malam teriak-teriak?” saya bertanya heran melihat sikap ibu
seperti itu.
“Yan Ayah
kamu sakit perut dari tadi sampai mules sekali”. Jawab dia sampai terkangah-kangah karena lari tadi.
“Terus apa
yang tadi di makannya sama ayah?” saya kembali bertanya takut. “
Tidak dapat
makan apa, cuma nasi ketela sama sayur pepaya saja.” Jawab dia lagi.
“Ya, ya bawa
sekarang ke bidan di utara.” Begitulah kata saya sambil berlari ke rumah di
selatan.”
Di bawah ini alur sudah
memasuki yang namanya rising action,
hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Aduh… aduh…, Bu tiang tan ngidang
naanang,” bapan tiang nuuh sambilanga ngeling.
“Pak Putu, niki bapak kena
pinyungkan usus buntu, arus aba ka rumah sakit. Mangkin! Mrika ngrereh montor
dumun tiang prasida nyarengin. Yén ten kénten tiang jejeh nyanan bapa
nyangetang laut tan katulung.” Raos bidan seken pesan.
Runtag bayun tiangé ningehang raosé
ento. Tiang inguh uli dija tiang kar ngamolihang jinah. Yén sampiné adep,
ngelah tuah abesik ban ngadas ento kar anggo mayah turunan. Budi nyilih, dija
lakun. Nanging jani suba sing ada jalan lén yan sing sampiné adep. Baat asané
batisé matindakan nanging ulian kapepet neked masi tiang di umah Pak Gedé ané
ngelah montor.”
Terjemahan:
“Aduh...aduh...,Bu
saya tidak bisa menahan,” ayah saya merintih sambil menangis.
“Pak Putu,
ini bapak kena penyakit usus buntu, arus di bawa ke rumah sakit. Sekarang!
Kesana dulu mencari mobil saya bersedia ikut. Kalau tidak begitu saya kuwatir
entar bapak tambah parah lalu tidak dapat di bantu.” Kata bidan serius sekali.
Gemetaran saya
mendengarkan kata-kata itu. Saya gelisah dari mana saya mendapatkan uang. Jika
menjual sapi, Cuma punya satu sebagian milik orang itu mau dipakai bayar yuran.
Mau minjem, dimana minjem. Tetapi sekarang sudah tidak ada jalan lagi kalau
tidak menjual sapi. Berat rasanya kaki ini berjalan tetapi karena terdesak
sapai juga saya di rumah Pak Gede yang mempunyai mobil.”
Berikut ini
alur sudah memasuki tahap Climaks (peristiwa mencapai puncak),
hal ini sesuai dengan kutipan berikut:
“Bapak saking napi?” dokter matakon.
“Tiang saking Banjar Batu, Pak,” tiang nyautin.
“Men niki ané sakit
sirané, sira wastané?”.
“Niki bapan tiang, wastané Wayan Srija. Tiang sané
nanggungjawabang, I Putu Sida,” saut tiang.
“Kénkén Bapan tiangé
niki, Pak?” tiang matakon
nyekenang.
“Puniki Pak, bapaké kena pnyungkan usus buntu sané
ampun parah, arus dioperasi secepatné niki. Mangkin unduk biaya sané arus
sediang Bapak petang juta, nika sampun polih potongan sawiréh Bapak nganggo
kartu miskin.” Punika raos dokteré nyelasang.”
Terjemahan:
“Bapak dari
mana?” dokter bertanya.
“Saya dari
desa Batu,” saya menjawab.
“Terus ini
yang sakit siapanya, siapa namanya?”.
“Niki ayah
saya, namanya Wayan Srija, saya yang bertanggungjawab, I Putu Sida,” jawab
saya.
“Bagaimana
ayah saya ini, Pak?” saya bertanya serius.
“Begini Pak,
bapak anda terkena
penyakit usus buntu yang sudah parah, harus segera dioperasi ini. Sekarang
untuk biaya yang harus siapkan Bapak empat juta, itu sudah dapat potongan
karena Bapak menggunakan Kartu Miskin.” Begitulah kata dokternya menjelaskan.”
Kutipan di
atas merupakan puncak permasalahan yang dihadapi oleh Putu Sida, setelah
mengetahui bahwa biya yang di perlukan untuk mengoperasi ayahnya sangat besar,
Putu Side pun bingung, dan memutuskan untuk meminjam uang di LPD dengan
menggunakan surat jaminan yang berupa tanah, tetap Putu Sida terlambat menplong
ayahnya. Sesampainya di rumah sakit ayahnya sudah tidak bernyawa. Di sini alur
memasuki tahap akhir yaitu tahap Denoument
(pemecahan persoalan dari peristiwa-peristiwa), berikut lampirannya:
“Semengan pesan tiang ampun numpang bis mulih ka désa.
Sadurungé mulih tiang mabesen kén mémé mangda becik-becik nongosin bapa dini.
Neked di désa, tiang ka LPD nyelang jinah nganggo wala
surat tanah. Tiang polih jinah limang juta. Mulih uli LPD, tiang malih ka rumah
sakit makta jinah ka pegawai administrasi. Nanging sadurungé mrika tiang
nengokin bapa ka kamar. Ring kamar dapetang tiang mémé suba bengong. Angkian
tiangé sarasa nyat nyingakin bapan tiang suba makudung kekeh sing maangkian.
“Bapa…!!!”
Terjemahan:
“Pagi-pagi
sekali saya sudah naik bis pulang ke desa. Sebelum pulang saya berpesan kepada
ibu supaya baik-baik nungguin ayah disini.
Sampai di rumah, saya ke LPD meminjem uang
menggunakan jaminan surat tanah. Saya mendapatkan uang lima juta. Pulang dari
LPD, saya kembali ke rumah sakit membawa uang ke pegawai administrasi. Namun
sebelum kesana saya melihat ayah ke kamar. Di kamar lihat saya ibu sudah
melamun. Napas saya merasa habis melihat ayah saya sudah mesaput kaku tidak
bernapas. “Ayah...!!!”
Berdasarkan kutipan diatas, menegaskan
bahwa tokoh Utama Putu Sida telah mencapai sed
ending yang tidak membahagiakan karena idak bisa menyelamatkan ayahnya yang
menderita sakit usus buntu, itu semua karena Putu Sida tidak mempunyai uang,
dan ketika ada uang Putu Sida
terlambat membawanya ke rumah sakit, sehingga ayahnya tidak dapat ditolong
lagi. Pergerakan alur atau plot dalam Cerpen
Ulian Lacur menggunakan alur rapat, karena dalam setiap peristiwa atau insiden
dari awal sampai akhir cerita, selalu terpusat pada tokoh utama dan tidak
menyelipkan cerita yang lain, dimana Putu Sida sebagai tokoh utama dan
sekaligus sebagai penggerak alur cerita.
Pemaparan diatas merupakan kajian
dari segi alur Cerpen Ulian Lacur. Cerpen
Ulian Lacur memakai sistem alur tradisional
(alur lurus). Berikut ini akan disajikan tokoh dan penokohan dalam Cerpen Ulian Lacur.
2.2.3 Tokoh dan
Penokohan
Punuti Sudjiman (1986:16) mengatakan
bahwa tokoh adalah individu rekan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam
berbagai peristiwa cerita. Lebih lanjut dikatakan tokoh pada umumnya berwujud
manusia tetapi ada juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan, tokoh
benda atau binatang ini berperilaku seperti manusia, dapat berfikir, bertingkah
laku dan berbicara seperti manusia (Sudjiman, 1988: 16). Tokoh merupakan bagian
atau unsur dari suatu keutuhan artistik yaitu karya sastra yang harus selalu
menunjang keutuhan artistik itu (sudjiman 1992:17).
Tokoh dalam fiksi dapat dibedakan
menjadi dua yaitu: tokoh utama (tokoh
sentral) dan tokoh tambahan (periferal).
Disebut tokoh utama apabila memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. paling
terlibat dengan makna atau tema,
2. paling
banyak berhubungan dengan tokoh lain, dan
3. paling
banyak memerlukan waktu penceritaan.
Menurut
M. Esten (1987: 27) adalah bagaimana cara pengarang menggambarkan dan
mengembangkan watak tokoh-tokohnya dalam
suatu cerita rekaan. Dalam penggambaran tokoh-tokoh dalam sebuah cerita rekaan,
ada beberapa cara yang ditempuh pengarang dalam menggambarkan dan mengembangkan
watak tokoh-tokohnya. Dalam hal ini M. Saleh Saad (1978: 11) membedakan cara
pengambaran watak tokoh-tokoh dalam cerita dibedakan menjadi tiga:
1. Cara Analitik yaitu
pengarang secara langsung
menceritakan bagaimana watak tokoh-tokoh yang ada dalam cerita tersebut.
2. Cara Dramatik
yaitu pengarang membiarkan tokoh-tokohnya mengungkapkan, menyatakan apa yang
ada dalam dirinya melalui ucapan, perbuatan, komentar, atau melalui penilaian
tokoh lain.
3. Cara Gabungan yaitu
cara menampilkan tokoh-tokoh dengan cara analitik
sekaligus dramatik ataupun
sebaliknya.
Perwatakan
memiliki tiga dimensi sebagai struktur utamanya dalam membangun karya sastra (Sukada, 1987: 135),
yakni:
1. Fisologis,
meliputi jenis kelamin, tampang, cacat tubuh, dan lain sebagainya.
2. Sosiologis,
meliputi pangkat, agama, lingkungan, kebangsaan dan lain sebagainya.
3. Psikologi,
meliputi cita-cita, ambisi, kekecewaan, dan yang sejenisnya.
Tokoh yang memegang peran pimpinan
disebut tokoh utama atau prontagonis.
Prontagonis selalu menjadi tokoh yang
sentral dan bahkan menjadi sorotan dalam kisah cerita (Sudjiman, 1992:17-18).
Tokoh utama (rtimer)
merupakan tokoh yang paling sering terlibat dan umumnya dikuasai oleh
serangkaian peristiwa. Tokoh sekunder merupakan tokoh bawahan yang
berperan dalam mengabdi atau bersama-sama tokoh utama dalam membangun cerita.
Sedangkan tokoh pelengkap atau penunjang (komplimenter)
merupakan tokoh yang berfungsi membantu kelancaran gerak tokoh utama (primer) dan tokoh bawahan (skunder).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tokoh
penokohan merupakan para pelaku rekaan yang mengalami peristiwa yang memiliki
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang tokoh, baik dari penampilan,
tingkah laku, watak maupun karakter yang ditampilkan dalam sebuah cerita
sehingga membangun satu kesatuan yang padu.
2.2.4.1
Tokoh
Utama
Tokoh utama dalam Cerpen Ulian Lacur adalah
Putu Sida Karena paling terlibat dengan makna atau tema cerpen,
paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, dan paling banyak memerlukan waktu
penceritaan. Tokoh prontagonis atau
tokoh utama di sini sudah berkeluarga, dan hiduup dalam kemiskinan, berikut
kutipannya:
“Peteng dedet puniki pinaka
saksi sebet kenehé tan kadi-kadi. Ulian nasibé jelék tampi tiang dadi
manusa ané tumbuh di guminé tiwas nékték. Yén umpamiang rasané uyah lengis nu
makékéh mancan ngidang ngurabang anggo darang nasi. Sané mangkin Hyang Widi né
micain pica sané ten ngidang rasané tiang manampi. Yén dadi seselang, pang
sesai makita mamisuh, maseselan. Tuah ja mula niki sampun jalan idupé
sané dados peduman.”
Terjemahan:
“Malam gelap gulita ini
sebagai saksi sakit hati yang tak
henti-henti. Karena nasib buruk yang saya terima sebagai manusia yang hidup di
dunia yang sangat miskim. Kalau diumpamakan rasanya garam dan minyak pun masih
susah ngak akan pernah bisa mencampur itu untuk lauk makanan. Yang sekarang
Hyang Widi (tuhan) yang memberikan anugrah yang tidak bisa saya terima. Kalau
bisa disesali, supaya setiap hari berkeinginan mengeluarkan kata-kata kotor,
menyesali, memang inilah sudah jalan hidup yang
saya dapatkan.”
Kutipan diatas menunjukan bahwa tokoh
Putu Sida merupakan sosok tokoh yang sangat sabar, walau hidup dalam
kemiskinan. Disamping itu pula, secara psikologis
tokoh Putu Sida merupakan sosok tokoh yang bertanggung jawab terhadap keluarga.
Dimana Putu Sida sebagai anak yang berbhakti
kepada kedua orang tuanya. Berikut kutipan yang menunjukan hal tersebut:
“Yén kéto, mai Pa tiang ngandong. Ajaka ka bidan.”
Tiang nyemak bapan tiangé laut ajak ka bidan. Petengé dedet ngaénang tiang ten
ngidang énggal majalan. Suba uling tuni listriké mati. Anaké samian sampun
madamar sentir. Mémén tiangé nutugin uling duri ngaba brokbok.
“Tu, cai ngelah pipis? Mémé nak sing ngelah pipis nang
akéténg.” Kénten raos mémén tiangé di subané paek ngajak puskesmasé.
“Mémé da ngitungang kéto malu, né penting jani bapa
maan ubad. Kanggoang malu jani ngidih tulungan ajak Bu Yani pang banga
nganggeh,” punika tiang nyautin.”
Terjemahan:
“Kalau
begitu, sini biar saya mengendong ayah. Bawa ke bidan.” Saya mengambil ayah
saya lalu bawa ke bidan. Malam sekali menyebabkan saya tidak bisa cepat
berjalan. Sudah dari tadi listriknya mati. Semua orang sudah menggunakan lampu
sentir. Ibu saya mengikuti dari belakang membawa obor.
“Tu, kamu
punya uang? Ibu tidak mempunyai uang sepeser pun.” Begitulah kata ibu saya
ketika sudah dekat dengan puskesmas.
. “Ibu
jangan memikirkan itu dulu, yang penting sekarang ayah mendapat obat. Untuk
sekarang minta bantuan sama Bu Yani supaya dikasi ngutang,” seperti itu saya
menjawab.”
Kutipan di atas menunjukan betapa bhaktinya Putu Sida kepada ayahnya yang sedang dalam keadaan sakit. Selain
secara psikologis tokoh Putu Sida
juga sangat mengedepankan sifat secara sosiologis,
karena ia menyadari bahwa manusia merupakan mahluk sosial yang selalu
berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan tidak bisa hidup sendiri. Seperti
dalam kutipan berikut:
“Pak Gedé… Pak Gedé…,” tiang kauk-kauk uli natahné.
“Nyén…?” ragané masaut uli tengah sambilanga
ngampakang jelan.
“Éngkén Tu adi ba peteng nogdog jelan?” kénten ragané
matakon. Sebengné suba ngarwanang gedeg kén tiang.
“Lédangang Pak Gedé, tiang ba peteng mriki, tiang jagi
ngidih tulungan mangkin sareng Pak Gedé. Bapan tiangé sakit sangét mangkin arus
ka rumah sakit. Pak Gedé kayun nganter ka rumah sakit?” kénten tiang ngesor
ngidih tulungan.
“Ngelah pipis cai kar anggon mayah?” saut ragané
malih.
“Pak, mangkin tiang déréng ngelah jinah, nanging
benjang tiang kar ngadep sampi. Kanggoang benjang wawu bayah tiang.” Tiang
masaut seken.
“Nah, ba ya kéto. Men jani dija bapan cainé?” ragané
matakon sambilanga nguasang jemak sereg montoré.
“Bapan tiangé di puskesmas Pak,” tiang nyautin.
Pak Gedé
mesuang montor kijangné uli garasiné. Di subané tiang menék montoré maserét ka
puskesmas”
Terjemahan:
“Pak Gede...
Pak Gede...,” saya teriak-teriak dari halaman rumahnya.
“Siapa...?”
dia menjawab
dari dalam sambil membuka pintu.
“Kenapa
Tu..kok sudah malam ngetuk pintu?” begitu dia bertanya. Raut mukanya rengas
marah sama saya.
“Maaf Pak
Gede, saya sudah malam
kesini, saya mau minta tolong sekarang sama Pak Gede. Ayah saya sakit parah
sekarang harus ke rumah sakit. Pak Gede bisa mengantar ke rumah sakit?” begitu
saya, memohon minta pertolongan.
“Punya
Uang kamu untuk membayar?” jawab dia lagi.
“Pak
sekarang saya belum punya uang, tetapi besok saya akan menjual sapi. Terima
besok baru bayar saya.” Saya menjawb serius.
“Ya, kalau
sudah begitu. Terus sekarang dimana ayah kamu?” dia bertanya sambil berusaha
mengambil kunci mobil.
“Ayah
saya di puskesmas Pak,” saya menjawabnya.
Pak Gede
mengeluarkan mobil kijangnya dari garasinya. Sesudahnya saya naik mobil lalu
cepat-cepat ke Puskesmas.”
Kutipan di
atas menjelaskan hubungan sosial antara Putu Sida dengan Pak Gede, di mana Putu
Sida dengan rendah hati meminta pertolongan untuk mengantar ayahnya ke rumah
sakit.
2.2.4.2 Tokoh Bawahan
Adapun
beberapa tokoh bawahan dalam Cerpen Ulian
Lacur anatara lain:
1. Istri Putu
Sida
Pengarang
menceritakan Istri Putu Sida ini tidak terlalu banyak terlibat dalam cerita,
dan digambarkan sebagai istri yang rajin dan perhatian terhadap suaminya
seperti kutipan berikut:
“Usan sangkep, tiang marasa basangé
seduk sajan, neked jumah tiang ka paon. Di paon dapetang kurenané sedeng
ngoréng gerang.
“Kondén ada ajengan nasi Yan?” tiang
matakon saha ngampakang grobag tongos ajengan nasiné.
“To sambel serané tuni nu bin bedik.
Kanggoang?” saut ragané sambilanga ngadukang sané gorénga.
“Men ten ngantiang gerang?” malih
ragané matakon kén tiang.
“Ba imang lebeng Yan? Bé seduk sajan
basangé,” saut tiang sambilang nyekenang ningalin ka pangoréngané.”
Terjemahan:
“Selesai
rapat, saya merasa perut saya lapar sekali, sampai di rumah saya ke dapur. Di
dapur sudah ada istri saya sedang menggoreng ikan teri.
“Belum ada
lauk nasi Yan?” saya bertanya sambil membuka lemari tempat lauk nasi.
“Itu sambel
terasi yang tadi masih sedikit. Mau?” jawab dia sambil mengaduk yang sedang
digorengnya.
“Terus tidak
menunggu ikan teri?” lagi dia bertanya ke pada saya.
“Sudah mau
selesai Yan? Sudah lapar sekali perut ini,” jawab saya sambil melihat serius ke
penggorengannya.”
2. Ibu Putu
Sida
Ibu Putu
Sida digamarkan di dalam cerpen ini sebagai seorang yang sangat memperhatikan
suaminya walau dalam keadaan sakit, berikut kutipannya:
“Yéh Mémé, kénkén sampun peteng kauk-kauk?” tiang matakon éran nepukin
abahné mémé buka kéto.“Yan Bapan cainé nyakitang basang uling tunian
kanti malisah.” Saut ragané kanti angkih-angkih ulian malaib wawu. “Men apa ladné maan ajenga ajak
Bapa?” tiang malih matakon jejeh.“Sing ja maan ngajeng apa, tuah nasi séla ajak
jukut gedang dogén.” Saut ragané malih.“Nah, nah ajak ka bidan jani dajané.”
Kéto munyin tiangé saha malaib ka umah ba delod.”
Terjemahaan:
“Yeh Ibu,
ada apa sudah malam teriak-teriak?” saya bertanya heran melihat sikap ibu
seperti itu. “Yan Ayah kamu sakit perut dari tadi sampai mules sekali”. Jawab
dia sampai terkangah-kangah karena lari
tadi. “terus apa yang tadi di makannya sama ayah?” saya kembali bertanya takut.
“ Tidak dapat makan apa, cuma nasi ketela sama sayur pepaya saja.” Jawab dia
lagi. “Ya, ya bawa sekarang ke bidan di utara.” Begitulah kata saya sambil
berlari ke rumah di selatan.”
3.Wayan
Srija
Di sini
pengarang tidak begitu menjelaskan tentang Wayan Srija, karena Wayan Srija
dalam keadaan sakit, dan ceritakan sebagai ayah dari Putu Sida, berikut kutipannya:
“Neked delod dapetang bapan tiang sampun lemet tan sida naanang sakit.
“Ngidang Bapa majalan?” tiang matakon. “Aduh…, bapa sing ngidang makrisikan
Tu,” saut ragané adéng. “Yén kéto, mai Pa tiang ngandong. Ajaka ka bidan.”
Terjemahan:
“Sampai di
selatan saya sudah lihat ayah dalam keadaan lemas tidak bisa menahan sakit.
“bisa Ayah Berjalan?” saya bertanya. “Aduh..., ayah tidak bisa bergeser Tu,”
jawab ayahnya pelan. “Kalau begitu, sini ayah saya gendong. Bawa ke bidan”
4.Bu Yani
Dalam Cerpen Ulian Lacur ini pengarang menceritakan
seorang bidan yaitu Bu Yani yang digambarkan sebagai tokoh yang ramah, sopan
santun. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Di subané di aep puskesmas tiang ngetok pintu. “Bu… Bu
Yani,” tiang kauk-kauk sambilang ngetok jelané. “Enggih sira drika?” saut
ragané sambilanga ngampakang jelan. Yéh Bli Putu, éngkén nika bapaké?” ragané matakon nyingakin tiang
ngandong bapan tiangé. “Kénten Bu, bapan tiang nyakitang basang kanti
nglinterin uli tunian,” tiang masaut. “Oh…, mriki bakta ka kamar préksa dumun!”
ragané nandanin tiang ngalih ruang préksa. “Ampun uli jam kuda ragana sakit?”
ragané matakon sambilanga ngukur ténsi. “Kocap ampun uli jam tengah sia wawu
Bu.” Tiang nyautin.“Ané encén sanget sakitang Pak?” ragané matakon nyekenang
kén bapan tiangé. “Niki Bu,” bapan tiangé nujuang sakitné. “Enggih, mangkin
cobak Bapak penekang batisé nganti di duur sirahé!” bu bidan nundén bapa
sambilanga ningting batisné bapa. “Aduh… aduh…, Bu tiang tan ngidang naanang,”
bapan tiang nuuh sambilanga ngeling. “Pak Putu, niki bapak kena pinyungkan usus
buntu, arus aba ka rumah sakit. Mangkin! Mrika ngrereh montor dumun tiang
prasida nyarengin. Yén ten kénten tiang jejeh nyanan bapa nyangetang laut tan
katulung.” Raos bidan seken pesan.”
Terjemahan:
“Sesudahnya
sampai di depan puskesmas saya ngetuk pintu. “ Bu... Bu Yani,” saya
teriak-teriak sambil mengetuk pintu. “Ya siapa disana?” jawab dia sambil
membuka pintu. “Oh Bli Putu, bagaimana itu ayahnya?” bu yeni bertanya melihat
saya menggendong ayah saya. “Begini Bu,
ayah saya sakit perut sampai mules-mules dari tadi,” saya menjawab. “Oh...,sini
bawake kamar periksa dulu!” dia memegang tangan saya menuju ruang priksa. “dari
jam berapa dirinya sakit?” dia bertanya sambil mengukur tensi. “barang kali
sudah dari jam setengah semilan tadi Bu.” Saya menjawab. “Yang mana paling
sakit Pak?” dia bertanya memperjelas kepada ayah saya. “ini Bu,” ayah saya
menunjuk sakitnya. “ Ya, sekarang coba Bapak angkat kaki sampai di atas
kepala!” bu bidan menyuruh ayah sambil mengangkat kaki ayah. “Aduh...aduh...,Bu
saya tidak bisa menahan,” ayah saya merintih sambil menangis. “Pak Putu, ini
bapak kena penyakit usus buntu, arus di bawa ke rumah sakit. Sekarang! Kesana
dulu mencari mobil saya bersedia ikut. Kalau tidak begitu saya kuwatir entar
bapak tambah parah lalu tidak dapat di bantu.” Kata bidan serius sekali.”
5.Pak Gede
Pak
Gede digambarkan sebagai tokoh yang sangat mengharapkan balas budi terhadap
jasanya. Seperti saat meminta bayaran ketika diminta pertolongannya oleh Putu
Sida untuk mengantar ayahnya ke rumah sakit. Berikut kutipannya:
“Pak Gedé… Pak Gedé…,” tiang kauk-kauk uli natahné. “Nyén…?” ragané masaut
uli tengah sambilanga ngampakang jelan. “Éngkén Tu adi ba peteng nogdog jelan?”
kénten ragané matakon. Sebengné suba ngarwanang gedeg kén tiang. “Lédangang Pak
Gedé, tiang ba peteng mriki, tiang jagi ngidih tulungan mangkin sareng Pak
Gedé. Bapan tiangé sakit sangét mangkin arus ka rumah sakit. Pak Gedé kayun
nganter ka rumah sakit?” kénten tiang ngesor ngidih tulungan. “Ngelah pipis cai
kar anggon mayah?” saut ragané malih.
“Pak, mangkin tiang déréng ngelah jinah, nanging benjang tiang kar ngadep sampi.
Kanggoang benjang wawu bayah tiang.” Tiang masaut seken. “Nah, ba ya kéto. Men
jani dija bapan cainé?” ragané matakon sambilanga nguasang jemak sereg montoré.
“Bapan tiangé di puskesmas Pak,” tiang nyautin. Pak Gedé mesuang montor
kijangné uli garasiné. Di subané tiang menék montoré maserét ka puskesmas”
Terjemahan:
“Pak Gede...
Pak Gede...,” saya teriak-teriak dari halaman rumahnya. “Siapa...?” dai
menjawab dari dalam sambil membuka pintu. “Kenapa Tu..kok sudah malam ngetuk
pintu?” begitu dia bertanya. Raut mukanya rengas marah sama saya. “Maaf Pak
Gede, sayasudah malam kesini, saya mau minta tolong sekarang sama Pak Gede.
Ayah saya sakit parah sekarang harus ke rumah sakit. Pak Gede bisa mengantar ke
rumah sakit?” begitu saya, memohon minta pertolongan. “Punya Uang kamu untuk
membayar?” jawab dia lagi. “Pak sekarang saya belum punya uang, tetapi besok
saya akan menjual sapi. Terima besok baru bayar saya.” Saya menjawb serius.
“Ya, kalau sudah begitu. Terus sekarang dimana ayah kamu?” dia bertanya sambil
berusaha mengambil kunci mobil. “Ayah saya di puskesmas Pak,” saya menjawabnya.
Pak Gede mengeluarkan mobil kijangnya dari garasinya. Sesudahnya saya naik
mobil lalu cepat-cepat ke Puskesmas.”
Di
atas telah di sajikan tentang tokoh dan penokohan dalam Cerpen Ulian Lacur berikut akan disajikan mengenai latar atau setting dalam Cerpen Ulian Lacur.
2.2.4 Latar (setting)
Latar atau setting yang juga disebut landas tumpu menyaran pada pengertian
tempat dan waktu, sebagaimana halnya kehidupan manusia di dunia nyata. Dengan
kata lain fiksi sebagai sebuah dunia, disamping membutuhkan tokoh, cerita, dan plot juga perlu latar, Abram (dalam
Nurgiantoro, 1995:216).
Peristiwa-peristiwa didalam cerita
tentulah terjadi pada sewktu-waktu atau di dalam rentang waktu tertentu dan
pada satu tempat tertentu secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala
keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan waktu, ruang, dan suasana
terjadinya peristiwa dalam satu karya sastra membangun latar cerita (Sudjiman,
1992:44).
Latar dapat diartikansebagai salah satu
unsur sastra yang berhubungan dengan tempat, keadaan dan waktu terjadinya
sebuah peristiwa dalam cerita. Latar (setting)
merupakan gambaran tempat dan waktu atau segala situasi tempat terjadinya
peristiwa. Latar yang baik selalu dapat membentuk elemen-elemen dalam cerita
seperti plot dan perwatakan (Huntagalung, 1967:103). Nurgiyantoro (195: 227)
membagi latar kedalam tiga unsur pokok yaitu: tempat, waktu, dan sosial.
a. Latar
Tempat latar tempat menyaran pada lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Tempat menjadi
sesuatu yang bersifat khas, tifikal dan fungsional. Ia akan mempengaruhi
pengaluran dan penokohan, dan karenanya menjadi koheren dengan cerita
keseluruhan (Nurgiyantoro, 1995: 227-228).
b. Latar
Waktu masalah dalam karya naratif, Genette
(dalam Nurgiyantoro 1995: 231), dikatakan dapat bermakna ganda, di satu pihak
menyaran pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita dan dipihak lain
menunjuk pada waktu dan unsur waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita.
c. Latar
Sosial latar sosial menyaran pada hal-hal yang
berhubungan dengan perilaku kehidupan masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencangkup
berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Hal tersebut dapat berupa
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara
berpikir, bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritural seperti yang
dikemukakan sebelumnya. Disamping itu, latar sosial juga berhubungan dengan
status tokoh yang bersangkutan (Nurgiyantoro 1995: 232-234).
2.2.3.1 Latar tempat
Dalm Cerpen
Ulian Lacur ada beberapa latar tempat yang menjadi, tempat terjadinya peristiwa antara lain; Bale
Banjar, di Dapur Rumahnya Putu Sida, Rumah Ibunya yang di selatan, Puskesmas,
Rumah Pak Gede, dan di Rumah sakit.. Namun tidak semua latar tersebut menjadi
pusat sentral pengisahan dalam hal ini hanya dipaparkan beberapa latar sentral
yang membawa tokoh utama dalam Cerpen
Ulian Lacur, latar tersebut yaitu:
1. Di
Dapur rumahnya Putu Sida
Di sini menjelaskan sampainya Putu Sida dari Bale Banjar karena lapar ia
pun segera ke dapur rumahnya. Seperti cuplikan berikutr:
“Usan sangkep, tiang marasa basangé seduk sajan, neked jumah tiang ka paon.
Di paon dapetang kurenané sedeng ngoréng gerang. “Kondén ada ajengan nasi Yan?”
tiang matakon saha ngampakang grobag tongos ajengan nasiné. “To sambel
serané tuni nu bin bedik. Kanggoang?” saut ragané sambilanga ngadukang sané
gorénga. “Men ten ngantiang gerang?” malih ragané matakon kén tiang. “Ba imang
lebeng Yan? Bé seduk sajan basangé,” saut tiang sambilang nyekenang ningalin ka
pangoréngané. Tiang nyokot gerang punika acekot.
Terjemahn:
“Selesai
rapat, saya merasa perut saya lapar sekali, sampai di rumah saya kedapur. Di
dapur saya temui istri saya sedang menggoreng ikan teri. “belum ada lauk
makanan Yan?” saya bertanya sambil membuka lemari tempat lauk makanan. “Itu
sambel terasi yang tadi masih tersisa lagi sedikit. Mau?” jawab dia sambil
mengaduk yang digorengnya. “Kalau tidak menunggu ikan teri?” lagi dia bertanya
sama saya. “Sudah mau matang Yan? Sudah lapar sekali perut saya,” jawab saya
sambil melihat ke penggorengan. Saya mengambil ikan teri itu satu sendok.
2.
Di Puskesmas
Di sini
menjelaskan mengenai pertolongan yang di berikan oleh Bu Yani ke pada ayahnya
Putu Sida di Puskesmas. Di Puskesmas ini ayah Putu Sida di priksa dan ketahuan bahwa ayahnya Putu Sida menderita sakit usus buntu dan
harus di bawa ke rumah sakit. Kutipannya sebagai berikut:
“Ané encén sanget sakitang Pak?” ragané matakon nyekenang kén bapan tiangé.
“Niki Bu,” bapan tiangé nujuang sakitné. “Enggih, mangkin cobak Bapak penekang
batisé nganti di duur sirahé!” bu bidan nundén bapa sambilanga ningting batisné
bapa. “Aduh… aduh…, Bu tiang tan ngidang naanang,” bapan tiang nuuh sambilanga
ngeling.“Pak Putu, niki bapak kena pinyungkan usus buntu, arus aba ka rumah
sakit. Mangkin! Mrika ngrereh montor dumun tiang prasida nyarengin. Yén ten
kénten tiang jejeh nyanan bapa nyangetang laut tan katulung.” Raos bidan seken
pesan.
Terjemahan:
“Yang mana
paling sakit Pak?” dia bertanya memperjelas kepada ayah saya. “ini Bu,” ayah
saya menunjuk sakitnya. “ Ya, sekarang coba Bapak angkat kaki sampai di atas
kepala!” bu bidan menyuruh ayah sambil mengangkat kaki ayah. “Aduh...aduh...,Bu
saya tidak bisa menahan,” ayah saya merintih sambil menangis. “Pak Putu, ini
bapak kena penyakit usus buntu, arus di bawa ke rumah sakit. Sekarang! Kesana
dulu mencari mobil saya bersedia ikut. Kalau tidak begitu saya kuwatir entar
bapak tambah parah lalu tidak dapat di bantu.” Kata bidan serius sekali.”
3.
Di rumah sakit
Disini
menjelaskan tentang pernyataan dokter bahwa ayah Putu Side menderita sakit usus
buntu dan harus segera dioperasi, secepatnya dan biaya yang harus di sediakan
sebanyak empat juta. Berikut kutipannya:
“Bapak saking napi?” dokter matakon.
“Tiang saking Banjar Batu, Pak,” tiang nyautin. “Men niki ané sakit sirané,
sira wastané?”. “Niki bapan tiang,
wastané Wayan Srija. Tiang sané nanggungjawabang, I Putu Sida,” saut tiang.
“Kénkén Bapan tiangé niki, Pak?” tiang matakon nyekenang. “Puniki Pak, bapaké
kena pnyungkan usus buntu sané ampun parah, arus dioperasi secepatné niki.
Mangkin unduk biaya sané arus sediang Bapak petang juta, nika sampun polih
potongan sawiréh Bapak nganggo kartu miskin.” Punika raos dokteré nyelasang.”
Terjemahan:
“Bapak dari
mana?” dokter bertanya. “saya dari desa Batu,” saya menjawab. “ terus ini yang
sakit siapanya, siapa namanya?”. “Niki ayah saya, namanya Wayan Srija, saya
yang bertanggungjawab, I Putu Sida,” jawab saya. “Bagaimana ayah saya ini,
Pak?” saya bertanya serius. “begini Pak, bapaknya terkena penyakit usus buntu
yang sudah parah, harus segera dioperasi ini. Sekarang untuk biaya yang harus
siapkan Bapak empat juta, itu sudah dapat potongan karena Bapak menggunakan
Kartu Miskin.” Begitulah kata dokternya menjelaskan.”
2.2.3.2 Latar Waktu
Dalam Cerpen Ulian Lacur terdapat latar waktu yang disajikan, antara
lain: pada waktu malam hari “Saniscara Kliwon Wuku Kuningan”
ketika mengantar ayahnya ke puskesmas dan pagi hari ketika I Putu Sida pulang
mengambil uang di LPD dengan surat jaminan berupa tanah, jadi latar waktu yang
terjadi di Cerpen Ulian Lacur adalah
dari hari ke hari.
2.2.3.3 Latar Sosial
Latar sosial yang digambarkan oleh si
pengarang dalam Cerpen Ulian Lacur
ini meliputi kemiskinan, menghormati orang tua, sopan sama orang lain. Seperti
halnya tokoh Putu Sida sebagai tokoh utama yang kehidupannya sangat miskin,
tetapi dia sangat menghormati orang tua dan sopan sama orang lain. Berikut
kutipannya yang menunjukan hal-hal tersebut:
“Peteng dedet puniki pinaka
saksi sebet kenehé tan kadi-kadi. Ulian nasibé jelék tampi tiang dadi
manusa ané tumbuh di guminé tiwas nékték. Yén umpamiang rasané uyah lengis nu
makékéh mancan ngidang ngurabang anggo darang nasi. Sané mangkin Hyang Widi né
micain pica sané ten ngidang rasané tiang manampi. Yén dadi seselang, pang
sesai makita mamisuh, maseselan. Tuah ja mula niki sampun jalan idupé
sané dados peduman.”
Terjemahan:
“Malam gulita
ini sebagai saksi sakit keneh yang tak henti-henti. Karena nasib buruk yang
saya terima sebagai manusia yang hidup di dunia yang sangat miskin. Kalau
diumpamakan rasanya garam dan minyak pun masih susah ngak akan pernah bisa
mencampur itu untuk lauk makanan. Yang sekarang Hyang Widi (tuhan) yang
memberikan anugrah yang tidak bisa saya terima. Kalau bisa disesali, supaya
setiap hari berkeinginan mengeluarkan kata-kata kotor, menyesali, memang inilah
sudah jalan hidup yang saya dapatkan.”
Kutipan diatas menggambarkan kehidupan tokoh utama
yang miskin dimana untuk makan saja susah. Selain itu tokoh utama Putu Side
juga sangat menghormati orang tuanya hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut
“Yén kéto, mai Pa tiang ngandong.
Ajaka ka bidan.” Tiang nyemak bapan tiangé laut ajak ka bidan. Petengé dedet
ngaénang tiang ten ngidang énggal majalan. Suba uling tuni listriké mati. Anaké
samian sampun madamar sentir. Mémén tiangé nutugin uling duri ngaba
brokbok.“Tu, cai ngelah pipis? Mémé nak sing ngelah pipis nang akéténg.” Kénten
raos mémén tiangé di subané paek ngajak puskesmasé.“Mémé da ngitungang kéto
malu, né penting jani bapa maan ubad. Kanggoang malu jani ngidih tulungan ajak
Bu Yani pang banga nganggeh,” punika tiang nyautin.”
Terjemahan:
“Kalau
begitu, sini biar saya mengendong ayah. Bawa ke bidan.” Saya mengambil ayah
saya lalu bawa ke bidan. Malam sekali menyebabkan saya tidak bisa cepat
berjalan. Sudah dari tadi listriknya mati. Semua orang sudah menggunakan lampu
sentir. Ibu saya mengikuti dari belakang membawa obor. “Tu, kamu punya uang?
Ibu tidak mempunyai uang sepeser pun.” Begitulah kata ibu saya ketika sudah
dekat dengan puskesmas. “Ibu jangan memikirkan itu dulu, yang penting sekarang
ayah mendapat obat. Untuk sekarang minta bantuan sama Bu Yani supaya dikasi
ngutang,” seperti itu saya menjawab.”
Kutipan di atas mengamarkan betapa baktinya Putu Sida
terhadap orang tuanya yang sedang sakit. Putu seda tidak memikirkan uang untuk
biaya obat ayahnya, walau dia tidak punya uang dia tetap berusaha supaya
ayahnya bisa sembuh dari sakitnya.
2.2.5 Tema
Tarigan (1984:125) mengatakan bahwa,
tema merupakan ide pokok sebuah cerita dan merupakan hal terpenting di dalam
satu cipta sastra sebagai tujuan yang ingin disampaikan pengarang kepada
penikmat/pembaca lewat karyanya. Tema merupakan satu gagasan sentral yang
menjadi dasar dan menjadi tujuan atau amanat yang ingin dicapai oleh pengarang.
Setiap karya sastra sudah pasti memiliki ide atau gagasan pokok pengarangnya.
Pengarang dalam menulis ceritanya bukan hanya sekedar bercerita, tetapi mau
mengatakan sesuatu pada pembacanya (Sumarjo
dan Saini. M.K, 1988: 56).
Tema merupakan gagasan, ide atau pikiran
yang utama yang mendasari satu karya sastra. Lebih lanjut dikatakan bahwa ada
kalanya tema cerita dengan jelas dinyatakan, artinya dinyatakan secara ekplisit/ditampilkan secara langsung,
misalnya pada judul cerita, akan tetapi tidak selalu semudah itu mengemukakan
tema cerita karena lebih sering tema itu implisit
(Semi, 1988:42).
Esten mengatakan ada tiga langkah cara dalam
menentukan tema dari suatu karya sastra, yaitu pertama dengan melihat persoalan yang mana yang paling menonjol; kedua, secara kuantitatif persoalan mana
yang paling banyak menimbulkan konflik yang melahirkan peristiwa-peristiwa; dan
ketiga, dengan menentukan atau
menghitung waktu penceritaan yang diperlukan untuk menentukan peristiwa atau
tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra (1982: 92).
Burhan Nurgiyantoro (2000: 77-79)
menggolongkan tema kedalam dua golongan yaitu: tema tradisional dan tema
non tradisional. Tema teradisional yang dimaksud adalah tema-tema yang telah lama digunakan
dalam penulisan karya sastra dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita,
termasuk cerita-cerita lama seperti misalnya tema kebenaran selalu menang
melawan kejahatan, orang yang berbuat jahat pada akhirnya akan sengsara dan
sebaliknya orang yang berbuat baik akhirnya akan mendapatkan kebahagiaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan tema non
tradisional adalah tema-tema yang bertentangan dengan perinsip-perinsip
dari pada tema tradisional, di dalam tema ini terjadi pertentangan yang
walaupun pada kenyataannya dapat terjadi tetapi oleh pembacanya sering dianggap
melanggar terhadap kebiasaan-kebiasaan umum di dalam masyarakat, misalnya:
seorang tokoh yang baik akan mendapat peran sebagai orang yang kalah dan
tertindas serta dalam kehidupannya mengalami kehancuran yang disebabkan oleh
orang yang jahat tersebut mendapatkan kekuasaan dan kekayaan.
Tema dalam Cerpen Ulian Lacur disampaikan secara ekplisit atau pengarang menyampaikan tema secara langsung. Dalam
hal ini kehidupan tokoh utama Putu Sida
sudah berumah tangga, dimana kehidupannya sangat susah atau miskin.
Kemiskinan pula yang menyebabkan ayahnya tidak bisa di tolong dari kematian.
Dalam Agama Hindu kemiskinan di sebut dengan daridra.
Dalam sarasamuccaya (2007:280.141-235) juga menjelaskan
tentang orang miskin, berikut salah satu kutipannya :
“mrṭo
daridah puruṣo mṛtaṁ rājyamarakṣakam, mṛtamacrҫtriyaṁ crāddham mṛto
yajnastvadakṣiṇah”.
Terjemahan:
Orang yang miskin itu adalah sama halnya dengan mati;
demikian rastra, yaitu kerajaan yang berwilayahkan luas, berpenduduk banyak,
jika tidak mempunyai raja sama dengan mati.
Kutipan di atas menunjukan kalau harta itu adalah segalanya, kemiskinan itu yang
menyebabkan kita sengsara hidup di dunia ini. Seperti tokoh utama dalam Cerpen Ulian Lacur ini yang hidup dalam
kemiskinan untuk makan minyak sama garam saja susah, dank arena kemiskinannya ia tidak bisa menolong
ayahnya, akan tetapi ia sudah berusaha semaksimal mungkin menolong ayahnya.
Dilihat dari semua insiden yang terjadi
dalam Cerpen Ulian Lacur dapat
disimpulkan bahwa tema utama yang terkandung dalam Cerpen Ulian Lacur adalah, Daridra
(kemiskinan). Selain tema utama juag ada tema bawahan seperti bhkti kepada orang tua, perjuangan. Berikut
ini juga dijelaskan mengenai amanat yang inggin disampaikan oleh pengaran.
2.2.6 Amanat
Wiyatmi (2006: 49) mengatakan bahwa,
Amanat pada dasarnya merupakan pesan yang ingin dismpaikan pengarang kepada
pembaca ataupun penikmat satu cipta sastra. Esten (1078: 22) mengatakan setiap
karya sastra pasti mempunyai amanat yang merupakan tujuan dari penulisan
cerita. Dalam sebuah amanat terdapat suatu cerminan hidup dan cita-cita dari
sipengarang. Amanat dapat dituangkan secara implisit
(tersirat) dan dapat pula secara ekpilisit
(tersurat). Amanat dapat berupa kata-kata mutiara, nasehat kebesaran Tuhan
sebagai petunjuk untuk memberikan nasihat (Sukada, 1983:22).
Selain itu Sudjiman juga membedakan
antara amanat yang terdapat dalam karya sastra lama (tradisional) dengan amanat
yang terdapat dalam karya sastra modern. Biasanya amanat yang terdapat dalam
karya sastra lama lebih merupakan sesuatu yang tersurat, sedangkan dalam karya
sastra modern disajikan dalam bentuk tersirat (1986: 5).
Dalam
Cerpen Ulian Lacur terkandung
amanat yang ditampilkan secara ekplisit
(tersurat) yang menyatakan Daridra
atau kemiskinan adalah sesuatu takdir yang tidak dapat di hindari, seperti yang
di alami oleh Putu Sida, karena kemiskinan yang dialaminya sampai-sampai tidak
bisa menolong ayahnya dari kematiaan
tetapi bukan ia yang membunuh ayahnya. Dan ia sudah berusaha menolong ayahnya. Ia yang tidak
menyebabkan penderitaan dan kematian dari makhluk hidup lain, tapi malah
berusaha menjaga keselamatan dari makhluk hidup itu, ia akan mendapat
kebahagiaan tanpa akhir (Vedasmrti.V.46). ia yang hidupnya melayani makhluk dan
membantu meringankan penderitaan semua makhluk hidup akan memperoleh
kebahagiaan serta kesejahteraan di bumi dan di surga ia akan di hormati
bagaikan dewa (RgVeda.I.125.5).
Kejadian seperti yang
ada dalam Cerpen Ulian Lacur ini, sering terjadi dalam kehidupan kenyataan ini, uang adalah segalanya, tanpa uang kita tidak bisa berbuat
apa-apa. Di jaman sekarang ini uang
bagaikan nyawa, tanpa uang kita tidak bisa hidup. Seperti itulah yang digambarkan oleh pengarang
mengenai zaman sekarang ini
.
2.3 Nilai Etika Hindu
Dalam Cerpen Ulian Lacur
2.3.1
Nilai Keagamaan
Pengertian Agama Secara Umum
Agama berasal dari bahasa Sanskrit yang
berarti tidak pergi, tidak kocar-kacir, tetap di tempat dan diwariskan secara
turun menurun. Ada pula yang mengatakan bahwa “agama” berarti teks, kitab suci,
dan berfungsi sebagai tuntunan hidup bagi penganutnya (Faridi, 2002 : 19).
Terkadang Agama juga disebut dengan
sebutan “Din” yang dalam bahasa Smit berarti undang-undang atau hukum. Dalam
bahasa Arab mengandung arti menguasai, menundukan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan
(Faridi, 2002 : 19).
Berdasarkan
kitab, SUNARIGAMA yang memunculkan dua istilah; AGAMA dan UGAMA, agama berasal
dari kata A-GA-MA, huruf A berarti “awang-awang,
kosong atau hampa”, GA berarti “genah
atau tempat” dan MA berarti “matahari,
terang atau bersinar”, sehingga agama dimaknai sebagai ajaran untuk menguak rahasia misteri Tuhan, sedangkan istilah UGAMA
mengandung makna, U atau UDDAHA yang berarti “tirta atau air suci” dan kata GA atau Gni berarti “api”, sedangkan MA atau Maruta berarti “angin atau udara” sehingga dalam hal ini
agama berarti sebagai upacara yang harus
dilaksanakan dengan sarana air, api, kidung kemenyan atau mantra.
Agama merupakan suatu keyakinan yang
sangat fundamental yang dapat membimbing manusia untuk mencapai kebahagiaan dan
kesempurnaan. Oleh karena itu ajaran suci agama cenderung kepada pendidikan
susila dan budi pekerti manusia yang bukan berakal dan memberi ilmu pengetahuan
yang banyak.
Nilai agama dalam karya sastra
sesungguhnya dapat disebut sebagai tradisi. Karena unsur-unsur keagamaan memang
sangat melekat dalam karya sastra. Kehadiran unsur keagamaan dalam sebuah karya
sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari
sesuatu yang bersifat religius. Dan pada awal mulanya segala sastra adalah
religius, Mangunwijaya (dalam Nurgiyantoro, 1994 : 326).
Menurut Mangunwijaya (dalam
Nurgiyantoro, 1994 : 327) Agama itu sendiri lebih menunjukan pada kelembagaan
kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiositas, di pihak
lain, melihat aspek yang dilubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas
kedalaman pribadi manusia. Dengan demikan, religius bersifat mengatasi, lebih
dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak, formal, dan resmi.
Secara umum agama Hindu di Indonesia dilaksanakan
dalam tiga aspek sekaligus. Ketiga aspek agama itu adalah; Tattwa (filsafat), Etika
(tata susila), dan Upacara (ritual).
Pengertian diatas selanjutnya akan
dipergunakan untuk memaparkan nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam Cerpen Ulian Lacur. Adapun nilai
keagamaan yang terkandung dalam Cerpen
Ulian Lacur yang khusus dibahas disini adalah nilai Etika,
serta beberapa nilai yang menunjang Cerpen
Ulian Lacur antara lain nilai Tattwa
dan nilai Upacara.
2.3.2
Nilai Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani
Kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’
yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya
yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu: tempat tinggal yang biasa,
padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara
berpikir. Sedangkan arti ta etha
yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah
Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi,
secara etimologis (asal usul kata),
etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Etika merupakan satu ilmu yang
mempelajari tentang tata nilai, tentang baik-buruk suatu perbuatan, apa yang
harus dijalani dan dihindari sehingga tercipta suatu tatanan hubungan antara
manusia dengan masyarakat yang dianggap baik, serasi, rukun, dan bermanfaat
bagi pribadi seseorang, masyarakat dimana seseorang bertempat tinggal,
lingkungan, dan alam sekitarnya yang perlu dipertahankan (Pudja, 1985:57).
Ajaran etika meliputi Tat Twam Asi berasal dari kata “Tat” yang arinya itu (ia), dan “Twam” yang artinya “kamu” dan “asi” artinya “adalah”. Jadi Tat
Twam Asi artinya ia adalah kamu, saya adalah kamu dan semua mahkluk adalah
sama. Tat Twam Asi merupakan dasar
dari susila. Susila adalah tingkah laku yang baik dan mulia yang selaras dengan
ketentuan Dharma (I Gede Wijaya 1984:23).
Selain dijelaskan di atas susila juga
dijelaskan dalam kitab suci Sarasamusccaya . Dalam kitab sarasamusccaya sloka (160)
disebutkan bahwa:
sĩlam pradhãnam
puruse tadyasyeha pranaçyati
na tasya
jĩwitenãrtho buhçĩlam kinprayojanam.
Terjemahan:
Sila adalah yang paling utama (dasar
mutlak) pada titisan sebagai manusia, Jika ada perilaku (tindakan) titisan
sebagai manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan hidupnya,
dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya (hidup,
kekuasaan dan kebijaksanaan) jika tidak ada penerapan kesusilaan pada perbuatan
(peraktek susila) (I Nyoman Kadjeng
1997:132)
Demikian pula dalam (Sarasamuscaya 16. 163) disebutkan bahwa:
atmãnamãkhyãti kulĩna yo narah
swa
çĩlacãritrkrataih çubhodayaih,
pranastamapyãtmakulam
tathã narah
punahprakãyam
kurute swasilatah.
Terjemahan:
Tingkah laku yang baik sesungguhnya merupakan sebab
orang dikenal keturunan mulia, biarpun silsilah keturunannya sudah tidak ada
lagi, asalkan orang itu berlaku susila, akan diketahui pula akan asal keturunan
orang itu.
Kutipan sloka diatas, menjelaskan ajaran
etika Hindu berkaitan erat dengan karma
phala. Baik buruk suatu perbuatan tidak hanya diukur dari tujuan perbuatan
yang dilakukan tetapi akibat yang lebih luas pada masyarakat umum. Dengan
berpedoman pada ajaran Subha Asubha Karma
tujuan digariskan untuk hal mencapai hayu
(rahayu)-nya jagat (dunia atau
masyarakat) (Pudja, 1979:88).
Dilihat dari pengertian diatas, dapat
disimpulkan bahwa etika merupakan pengetahuan tentang sopan santun atau
baik-buruk. Adapun nilai pendidikan etika dalam Cerpen Ulian Lacur adalah seperti dalam kutipan berikut:
“Di subané
di aep puskesmas tiang ngetok pintu. “Bu… Bu Yani,” tiang kauk-kauk sambilang
ngetok jelané. “Enggih sira drika?” saut ragané sambilanga ngampakang jelan.
“Yéh Bli Putu, éngkén nika bapaké?” ragané matakon nyingakin tiang
ngandong bapan tiangé. “Kénten Bu, bapan tiang nyakitang basang kanti
nglinterin uli tunian,” tiang masaut. “Oh…, mriki bakta ka kamar préksa dumun!”
ragané nandanin tiang ngalih ruang préksa.”
Terjemahan:
“Sesampainya sampai di depan
puskesmas saya mengetuk pintu. “Bu...Bu Yani,” saya teriak-teriak sambil
mengetuk pintu. “Ya siapa di sana?” Jawab dia sambil membuka pintu. “Oh Bli
Putu, bagaimana itu ayahnya?” bu yeni bertanya melihat saya menggendong ayah saya. “Begini Bu, ayah saya sakit perut
sampai mules-mules dari tadi,” saya menjawab. “Oh...,sini bawake kamar periksa
dulu!” dia memegang tangan saya menuju ruang priksa.”
Kutipan
diatas melihatkan etika yang baik yang dilakukan oleh Putu Sida, di mana Putu Sida mengetuk pintu rumahnya Bu Yani,
begitu pula dengan sopan, Putu Side meminta pertolongan kepada Pak Gede,
berikut kutipan yang menunjukan hal
tersebut:
“Pak Gedé…
Pak Gedé…,” tiang kauk-kauk uli natahné. “Nyén…?” ragané masaut uli tengah
sambilanga ngampakang jelan. “Éngkén Tu adi ba peteng nogdog jelan?” kénten
ragané matakon. Sebengné suba ngarwanang gedeg kén tiang. “Lédangang Pak Gedé,
tiang ba peteng mriki, tiang jagi ngidih tulungan mangkin sareng Pak Gedé.
Bapan tiangé sakit sangét mangkin arus ka rumah sakit. Pak Gedé kayun nganter
ka rumah sakit?” kénten tiang ngesor ngidih tulungan. “Ngelah pipis cai kar
anggon mayah?” saut ragané malih. “Pak, mangkin tiang déréng ngelah jinah,
nanging benjang tiang kar ngadep sampi. Kanggoang benjang wawu bayah tiang.”
Terjemahan:
“Pak Gede... Pak Gede...,” saya
teriak-teriak dari halaman rumahnya. “Siapa...?” dai menjawab dari dalam sambil
membuka pintu. “Kenapa Tu..kok sudah malam ngetuk pintu?” begitu dia bertanya.
Raut mukanya rengas marah sama saya. “Maaf Pak Gede, sayasudah malam kesini,
saya mau minta tolong sekarang sama Pak Gede. Ayah saya sakit parah sekarang
harus ke rumah sakit. Pak Gede bisa mengantar ke rumah sakit?” begitu saya,
memohon minta pertolongan. “Punya Uang kamu untuk membayar?” jawab dia lagi.
“Pak sekarang saya belum punya uang, tetapi besok saya akan menjual sapi.
Terima besok baru bayar saya.”
Dalam
kutipan diatas jelas sekali tampak selalu mengutamakan ajaran Karma Sanyasa yang didasari dengan
ajaran etika berupa ajaran Yama dan Niyama Brata, yang merupakan ajaran
mengenai pengendalian diri dalam bentuk perbuatan untuk dapat mencapai
kesempurnaan lahir dan kesucian bathin. Ajaran Dasa Yama Brata meliputi : (1). Anresangsya
(tidak mementingkan diri sendiri), (2). Ksama
(tahan dan tenang menerima baik dan buruknya sesuatu yang datang pada
dirinya), (3). Satya (setia dan jujur
pada kewajiban), (4). Ahimsa (tidak
melakukan pembunuhan dan selalu berbuat untuk kebahagiaan semua mahluk), (5). Dama (penyabar dan pandai menasehati
diri sendiri), (6). Arjawa (tulus
hati dan berterus terang), (7) Priti
(welas asih terhadap semua mahluk), (8) Prasada
(memiliki hati yang jernih), (9). Madhurya
(selalu bermuka dan berkata manis terhadap sesama), (10). Mardawa (kelembutan hati dan rendah
hati). Kutipan diatas menjelaskan sikap
tokoh utama pada saat minta pertolongan kepada Pak Gede untuk mengantarkan
ayahnya ke rumah sakit. Selain nilai tersebut di Cerpen Ulian Lacur ini juga
dijelaskan nilai ritual.
2.3.3
Nilai Tattwa atau Filsafat
Filsafat merupakan aspek rasional dari
agama dan merupakan satu bagian integral dari agama di India. Filsafat
merupakan pencarian rasional ke dalam sifat kebenaran atau realitas, yang
memberikan pemecahan yang jelas guna menunjukan permasalahan-permasalahan yang
alus dari kehidupan (Sri Swami Sivananda 2003: 172).
Weda merupakan sabda Tuhan Yang Maha
Esa. Di dalam Weda terkandung pandangan filsafat Hindu dan pandangan dunia yang
dijadikan pedoman oleh umat Hindu. Weda merupakan sumber dari sumber-sumber
pikir yang mempengaruhi pandangan dan sikap hidup umat Hindu. Umat Hindu
menganggap filsafat ketuhanan (tattwa/darsana) sebagai bagian dari Weda (Santeri, 2000:3). Keyakinan umat Hindu
terhadap Tuhan/Ida Sanghyang Widhi Wasa
didasarkan atas Sradha atau
keyakinan.
Seperti dikatakan bahwa agama Hindu
secara filosofis dinilai berkembang
dari politeisme dengan banyak Dewa,
menuju henoteisme dengan masih banyak
Dewa, dan pemberian banyak nama atau penyebutan terhadap Baliau. Pemberian nama
ini tergantung dari barbagai hal, salah satunya berdasarkan keyakinan kita
sebagai umat beragama. Demikian juga halnya dalam Cerpen Ulian Lacur, dimana setiap umat beragama memiliki keyakinan
sendiri dalam mengekpresikan dan mempersonifikasikan Tuhan dengan banyak nama
sesuai dengan manifestasi-Nya dan
keyakinan masing-masing. Seperti yang di ucapkan oleh Putu Sida dalam kutipan berikut:
“Peteng dedet puniki pinaka
saksi sebet kenehé tan kadi-kadi. Ulian nasibé jelék tampi tiang dadi
manusa ané tumbuh di guminé tiwas nékték. Yén umpamiang rasané uyah lengis nu
makékéh mancan ngidang ngurabang anggo darang nasi. Sané mangkin Hyang Widi né
micain pica sané ten ngidang rasané tiang manampi. Yén dadi seselang, pang
sesai makita mamisuh, maseselan. Tuah ja mula niki sampun jalan idupé
sané dados peduman.”
Terjemahan:
“Malam gulita ini sebagai saksi sakit keneh yang tak henti-henti. Karena
nasib buruk yang saya terima sebagai manusia yang hidup di dunia yang sangat
miskin. Kalau diumpamakan rasanya garam dan minyak pun masih susah ngak akan
pernah bisa mencampur itu untuk lauk makanan. Yang sekarang Hyang Widi (tuhan)
yang memberikan anugrah yang tidak bisa saya terima. Kalau bisa disesali,
supaya setiap hari berkeinginan mengeluarkan kata-kata kotor, menyesali, memang
inilah sudah jalan hidup yang saya
dapatkan.”
Kutipan diatas sangat jelas menyatakan
bahwa Putu Sida adalah seorang yang beragama hindu, karena menyebutkan Hyang Widi yang sama artinya dengan Sang
Hyang Widi Wasa yaitu Tuhan. Disini
menjelaskan bahwa Tuhan memiliki banyak nama.
BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Adapun
kesimpulan dari makalah yang berjudul Unsur-unsur
Instrinsik dan Aspwk Nilai Etika dalam Cerpen Ulian Lacur ini adalah
sebagai berikut:
v Pengertian Kesusastraan
Bali
Kesusastraan Bali berati segala hasil
karya cipta sastra yang mempergunakan bahasa Bali sebagai media komunikasinya,
dan memuat tentang kehidupan masyarakat Bali secara imajinatif. kesusastraan
Bali dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: Sastra Bali Tradisional (Prosa
Fiksi-Gancaran) yang terdiri dari legenda,
mitos, epos, dongeng, hikayat, sastra kitab, dan tutur (ujaran rakyat) serta
tahayul (kepercayaan), Sastra Bali Modern (Prosa Fiksi- Gancaran Anyar)
yang terditi dari cerpen dan novel,
dan Cerita Rakyat Bukan Lisan. Maka Cerpen merupakan cerita yang tidak
benar-benar terjadi yang diciptakan oleh seorang pengarang yang meliputi ide,
semesta, tokoh-tokoh, insiden, alur, dan tema secara imajiner dan imajinatif,
(terutama kejadian dijaman dahulu ataupun dimasa modern seperti saat ini).
v Unsur
Intrinsik dalam
Cerpen Ulian Lacur
Unsur intrinsik Cerpen Ulian Lacur terdiri atas insiden,
alur/plot, tokoh penokohan, latar
atau seting, tema dan amanat.
Struktur naratif Cerpen Ulian Lacur tersebut bersama-sama membangun satu
kesatuan yang utuh dan padu secara kausal, struktural.
ü Adapu
insiden yang terjadi dalam Cerpen
Ulian Lacur terjadi secara wajar dan logis, sehinga kesan yang dihasilkan
sangat nyata. Dimaana pengarang menyajikan insiden ini sesuai dengan kehidupan
pada zaman sekarang, yang sangat mementingkan materi.
ü Alur yang
ditampilkan oleh pengarang dalam Cerpen Ulian Lacur adalah alur lurus, yang
cukup panjang, di mana diawali dengan Situation
(pengarang melukiskan suatu keadaan) dan kemudian dilanjutkan dengan adanya
paparan (exposition), climak (pemuncakan) dan resulusi (pemecahan permasalahan) dalam
perkembangan alurnya, sampai cerita selesai
ü Kajian
tokoh dan penokohan dalam Cerpen Ulian Lacur, tidak semua tokohnya
dapat dibicarakan secara khusus, tetapi hanya terbatas pada tokoh utama dan
tokoh bawahannya saja. Tokoh bawahan dalam Cerpen Ulian Lacur ini adalah: Istri
Putu Sida, Istrinya Wayan Srija,
Bu Yani, dan Pak Gede, sedangkan tokoh utamanya adalah Putu Sida. dan Pak
Dokter sebagai tokoh pelengkap (komplementer).
ü Tema yang
terkandung dalam Cerpen ulian Lacur adalah Daridra
yang artinya kemiskinan. Tema disajikan oleh pengarang secara ekplisit
(tersirat), selain tema utama itu juga ada tema yang mendukung tema utama
antara lain: bhkti kepada orang tua,
perjuangan. Semua itu dapat dilihat dari tokoh utamanya.
ü Amanat
yang ditampilkan secara ekplisit
(tersurat) yang menyatakan Daridra
atau kemiskinan adalah sesuatu takdir yang tidak dapat di hindari, seperti yang
di alami oleh Putu Sida, karena kemiskinan yang dialaminya sampai-sampai tidak
bisa menolong ayahnya dari kematiaan. Kejadian seperti yang ada dalam Cerpen
Ulian Lacur ini, sering terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya, materi yang
berupa uang sangat penting, uang segalanya pada zaman sekarang tanpa uang tidak
bisa berbuat apa-apa. Seprti itu yang digamarkan oleh pengarang mengenai zaman
sekarang.
v Aspek Nilai Dalam Cerpen Ulian Lacur
Nilai-nilai yang terkandung dalam Cerpen
Ulian Lacur dapat dilihat dari perilaku tokoh utamanya. Selain nilai etika juga
terkandung nilai keagamaan yang meliputi nilai filsafat.
5.2 Saran
1. Bagi
pengarang. Karya sastra berupa cerpen Bali modern merupakan satu bentuk cipta
sastra yang dihasilkan oleh para pengawi
Bali. Maka dari itulah karya sastra Bali modern seperti itu perlu ditingkatkan
produtifitasnya agar dapat dinikmati oleh masyarakat, baik dari kalangan
akademis maupun dari kalangan non akademis. Maka dari itu sangat diharapkan
akan adanya pencetakan ulang agar novel ini bisa lebih mudah didapat. Demikian
pula agar para pengarang yang lain diaharapkan lebih banyak berkarya dengan
menuangkan ide-ide brilyannya dalam manciptakan karya sastra berupa novel
berbahasa Bali.
2. Bagi
mahasiswa. Cerpen Ulian Lacur merupakan
karya sastra besar yang patut untuk dinikmati karena mengandung amanat atau
pesan moral dan menjunjung nilai-nilai keagamaan dan anggah-ungguhin bahasa
Bali yang patut untuk dijadikan pedoman bagi generasi muda dikalangan akademis
dan dapat dijadikan reprensi untuk menambah wawasan tentang karya sastra.
3. Bagi
masyarakat. Sebagai masyarakat Bali diharapkan agar dapat menikmati keberadaan
karya sastra Bali berupa cerpen.
Karena dalam karya novel Bali Modern banyak mengandung nilai keagamaan, serta
kebahasaan khususnya bahasa Bali yang dapat dijadikan pembelajaran dan pedoman
dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Sivananda
Sri Swami. 2003. Intisari Ajaran Hindu.
Surabaya: Paramita.
Putu
Antara I Gusti. 2008. Prosa Fiksi Bali
Tradisional. Singaraja: Yayasan Gita Wandawa.
Kajeng
I Nyoman. 2010. Sarasmuccaya. Surabaya:
Paramita.
Teeuw,
A. 1983. Membaca dan Memahami Karya
Sastra. Jakarta: Perc. Gramedia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000),
No comments:
Post a Comment