Jenis – jenis Dharmagita
Ada beberapa jenis teks yang digolongkan Dharmagita, yaitu :
1)
Geguritan
Geguritan atau yang disebut pula sekar alit atau macapat diikat oleh
aturan padalingsa yang terdiri atas :
a. Guru wilang : jumlah suku kata dalam satu baris
(satu gatra)
b. Guru gatra : jumlah baris dalam satu bait
(pada)
c. Guru dingdong : suara akhir pada setiap baris (a,i,u,e,o)
Contoh : Pupuh Pucung
a. Guru wilang :
4,8,6,8,4,8
b. Guru gatra :
6
c. Guru dingdong :
u,u,a,i,u,a
- Padalingsa Pupuh Pucung : 4u,
8u, 6a, 8i,
4u, 8a
- Padalingsa P.
Maskumambang : 4a/u, 8i,
6a, 8i, 8a
- Padalingsa Pupuh Mijil
: 4u, 6i,
6o, 10e, 10i,
6i, 6u
- Padalingsa Pupuh Ginanti : 8u,
8i, 8a, 8i,
8a, 8i
- Padalingsa Pupuh Ginada
: 8a, 8i,
8a, 8u, 8a,
4i, 8a
- Padalingsa Pupuh Semarandana
: 8i,
8a, 8o/e, 8a, 8a,
8u, 8a
- Padalingsa Pupuh Sinom :
8a, 8i, 8a,
8i, 8i, 8u,
8a, 8i, 4u,
8a
- Padalingsa Pupuh Durma
: 12a, 8/7i, 6a,
8/7a, 8i, 5a, 8/7i
- Padalingsa Pupuh
Pangkur : 8a,
11i, 8u, 8a,
12u, 8a, 8i,
- Padalingsa P. Dangdanggula :
10i, 10a, 8e, 8u,
8i, 8a, 8u, 12a, 8i, 7a/8a
2)
Kidung
Kidung yang termasuk sekar madya ditinjau dari metrum yang digunakan,
dapat dibedakan atas kidung yang menggunakan metrum macapat dan kidung yang
menggunakan metrum tengahan. Pada prinsipnya syair kidung juga diikat oleh suku
kata dan bunyi akhir, tetapi dalam system penulisan teks kidung dalam
lontar-lontar kerap kali tidak menggunakan tanda batas larik (baris) yang
biasanya ditandai dengan tanda carik
tunggal seperti pada teks kakawin
maupun geguritan. Dan satu bait
kidung biasanya ditandai dengan tanda pamada
(carik agung). Pola metrum tengahan biasanya disusun dengan komposisi yang
terdiri dari atas kawitan (panjang
dan pendek), pengawak (panjang dan
pendek).
Secara teknis untuk menyanyikan Kidung biasanya dinyanyikan secara
berkelompok, pengambilan suara pada tengah-tengah lidah dan reng atau gema ke
dalam. Yang paling penting dalam menyanyikan kidung adalah kebersamaan dengan
nada suara ngumbang ngisep atau ngees
nguncab yaitu alunan irama yang dapat menciptakan suasana magis. Pada
umumnya kidung memakai bahasa Jawa Tengahan, Jawa Kuna (Kawi), bahasa Bali
Tengahan atau bahasa Bali Lumbrah.
3)
Kakawin (sekar Agung)
Bentuk nyanyian kakawin tidak berdasarkan gending gong, tidak juga
memakai padalingsa tetapi memakai wrtta
matra.
a.
Wrtta artinya : banyak bilangan suku kata dalam
tiap-tiap carik atau koma. Biasanya satu bait kakawin terdiri dari 4 baris,
tetapi ada juga terdiri dari 3 baris
yang disebut Rahi tiga / Utgata wisama. Sekalipun wretta atau banyak bilangan
suku kata tiap-tiap carik itu sama, kalau letak guru laghunya lain, maka lian
pula nama dan irama guru laghu kakawin tersebut.
Sama wretta matra : Kakawin jumlah suku kata dan guru
laghunya sama.
Ardhasamamatra
samawretta : Kakawin yang jumlah suku katanya sama, guru laghunya tidak
sama.
Wisamawrettamatra : Kakawin yang jumlah suku kata tiap-tiap
baris tidak sama dan susunan guru laghunya tidak sama pula
b. Matra
artinya : Sarat letak guru laghu dalam tiap-tiap wrtta
Untuk lebih jelasnya mari kita simak
penjelasan tentang guru laghu di bawah
ini
4)
Palawakya
Jenis teks palawakya
menggunakan bahasa Jawa Kuna dan berbentuk prosa dengan disana sini muncul
sloka/sruti berbahasa Sansekerta. Dalam membaca dan melagukan palawakya sangat tergantung kepada tabuh bhasa (intonasi) serta ketepatan onek-onekan (pengejaan dan pemenggalan
kata-kata).
5)
Sloka dan Sruti
Dalam tradisi Bali, umumnya sloka
dibedakan dengan sruti, Sloka
biasanya terdiri dari empat baris dalam satu
padarta, dengan jumlah suku
kata yang sama pada setiap baris. Sebaliknya, sruti mempunyai jumlah baris dan jumlah suku kata tidak tetap dalam
satu padarta.
keren ntar mampir di blog ku bli
ReplyDelete