Pemutaran Giri Mandara dan munculnya Tirta Amerta
Dikisahkan pada zaman Satyayuga, para Dewa, detya dan asura (rakshasa) mengadakan pertemuan di puncak gunung Mahameru untuk
mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air suci yang jika diminum dapat membuat hidup
abadi. Itulah sebabnya para Dewa dan Asyura berlomba-lomba untuk mendapatkan
Tirta Amerta tersebut.
Sang Hyang
Nārāyana (Wisnu) bersabda,
"Kalau kalian menghendaki tirta amerta tersebut, aduklah lautan Ksera (Kserasagara),
sebab di dasar lautan itulah terdapat tirta amerta. Maka dari itu, carilah di
sana!"
Setelah mendengar perintah Sang Hyang Nārāyana,
berangkatlah para Dewa dan asura menuju
ke laut Ksera. Karena laut Ksera sedemikian luasnya dan sangat dalam, maka
untuk mendapatkan tirta amerta adalah dengan cara mengaduk lautan tersebut.
Kebetulan, tidak jauh dari laut tersebut, yaitu di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), terdapat sebuah gunung bernama Gunung Mandara (Mandaragiri),
tingginya sebelas ribu yojana.
Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga, beserta dengan segala isinya. Naga Wasuki kemudian melilitkan tubuhnya ke lereng gunung
tersebut, sebagai tali pengikat. Para Dewa bertugas memegang ekornya, sedangkan
rakshasa dan detya memegang kepalanya. Dewa
Indra bertugas
menduduki puncaknya, agar gunung tersebut tidak melambung atau terangkat lagi
ke atas.
Setelah mendapat izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara
dijatuhkan ke laut Ksera, sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor
kura-kura raksasa (Kurma)
bernama Akupa yang tidak lain
adalah awatara (penjelmaan) kedua dewa Wisnu dan saat itu sedang mengapung di lautan Kserasagara atau Kseranawa (lautan susu), diminta
membantu untuk menopang dasar gunung Mandara dengan tempurungnya, agar tidak
tenggelam.
Setelah siap, para Dewa, rakshasa
dan asura mulai memutar gunung Mandara dengan menggunakan Naga Wasuki sebagai
tali. Mereka berjuang sedemikian hebatnya, demi mendapatkan
tirta amerta,
sehingga laut bergemuruh. Gunung Mandara menyala, Naga Wasuki menyemburkan bisa, membuat pihak asura
dan rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung yang kemudian
mengguyur para asura dan rakshasa. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta
minyak kayu hutannya membuat lautan Ksera mengental, pemutaran Gunung Mandara
pun makin diperhebat.
Timbulnya
racun
Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala menyebar. Racun tersebut dapat membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian meminum racun tersebut maka lehernya menjadi biru dan disebut Nilakantha (Sanskerta: Nila: biru, Kantha: tenggorokan).
Setelah
sekian lama mengaduk-aduk laut Kesra dengan gunung Mandara yang
diputar-putar, berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun muncul, yaitu:
- Sura, Dewi yang menciptakan minuman anggur
- Apsara, kaum bidadari kahyangan
- Kostuba, permata yang paling berharga di dunia
- Uccaihsrawa, kuda para Dewa
- Kalpawreksa, pohon yang dapat mengabulkan keinginan
- Kamadhenu, sapi pertama dan ibu dari segala sapi
- Airawata, kendaraan Dewa Indra
- Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuran
- Dewi Sri,
- Ardhachandra
- Kastubhamani
Akhirnya keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta. Karena para Dewa sudah banyak mendapat bagian, sementara para asura dan rakshasa tidak mendapat bagian sedikit pun, maka para asura dan detya ingin agar tirta amerta menjadi milik mereka. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para asura dan rakshasa dan Gunung Mandara dikembalikan ke tempat asalnya, di Sangka Dwipa.
Perebutan
Tirta Amerta
Para Dewa ternyata tidak rela bila tirta amerta menjadi milk para Asura dan Detya. Para Dewa berusaha memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. Akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita sangat cantik bernama Mohini. Wanita cantik ini kemudian mendekati para rakshasa dan detya. Mereka sangat senang dan terpesona dengan kecantikan wanita jelmaan Dewa Wisnu.
Ketika sang wanita ini minta Tirta
Amerta, para Asura dan Detya, tanpa pikir panjang langsung menyerahkan kendi berisi
tirta amerta. Mereka berpikir, bahwa jika sang wanita yang cantik ini meminum
tirta amerta ini, maka wanita ini tidak akan pernah mati dan menjadi tua,
sehingga mereka dapat tetap bersama-sama. Setelah mendapatkan air tersebut,
Mohini langsung pergi sambil berlari membawa tirta amerta dan mengubah wujudnya
kembali menjadi Dewa Wisnu.
Para detya yang melihatnya, menjadi
marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara para Dewa dan
rakshasa-detya. Pertempuran terjadi sangat lama, karena kedua belah
pihak sama-sama sakti. Kemudian Dewa Wisnu teringat
dengan senjata Chakran-ya. Agar
pertempuran dapat segera diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan senjata Chakranya.
Senjata chakra kemudian turun dari
langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya. Banyak dari mereka yang lari
terbirit-birit dengan tubuh yang penuh luka. Akhirnya, ada yang menceburkan
diri ke laut dan ada pula yang masuk ke dalam tanah.
Para Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa Wisnu, dan di sana mereka meminum tirta
amerta sehingga memiliki hidup abadi. Seorang rakshasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika mengetahui hal itu,
kemudian ia mengubah wujudnya menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan Chandra, yang kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu. Dewa
Wisnu kemudian mengeluarkan senjata chakranya dan memenggal leher sang
rakshasa, tepat ketika tirta amerta sudah mencapai tenggorokannya.
Memang, badan sang rakshasa kemudian
mati, namun kepalanya masih hidup karena tirta amerta sudah menyentuh
tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada Dewa Aditya dan Chandra, dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan
bulan
No comments:
Post a Comment