BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Bila
kita mendengar suara orang berbicara maka kita akan mendengar runtutan bunyi
bahasa yang terus -menerus. Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis,
dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi, yang secara
etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan logi yang artinya ilmu. Objek
kajian fonologi adlah bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap atau
alat bicara manusia.
Menurut Hierarki satuan bunyi yang menjadi
obyek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara umun,
fonetik biasanya dijelaskan sebagai cabang fonologi yang mempelajari bunyi
bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai
pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonomik adalah cabang studi fonologi yang
memperhatikan bunyi tersebut sebagai pembeda makna.
Ucapan
sebuah fonem dapat berbeda-beda, sebab sangat tergantung dengan lingkungannya.
Padaa bahasa-bahasa tertentu bisa dijumpai perubahan fonem yang mengubah
identitas fonem itu menjadi fonem yang lain, sehingga terjadi suatu perbedaan
fonem. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa berdampak pada dua
kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau mengubah
identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian
bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain, perubahan tersebut masih dalam
lingkup perubahan fonetis. Tetapi
apabila perubahan itu sudah sampai berdampak pada pembedaan makna atau mengubah
identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut merupakan alofon dari fonem yang
berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut sebagai perubahan fonemis.
Salah
satu perubahan fonem adalah netralisasi yang diikuti dengan pemakaian
archifonemnya. Dalam pembahasaan kali ini akan dijelaskan perubahan fonem
tersebut, agar kita mengatahui dan mampu mengerti apa yang disebut netralisasi
yang disertai dengan penggunaan archifonemnya.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas rumusan masalah yang dapat kami ambil, yakni :
1. Bagaimanakah
pengertian netralisasi?
2. Apa
saja jenis-jenis netralisasi?
1.3
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian netralisasi.
2. Untuk
mengetahui jenis-jenis netralisasi.
1.4
Manfaat
1. Karya
tulis ini diharapkan mampu memberikan penjelasan yang lebih efektif tentang
perubahan bunyi yaitu netralisasi.
2. Dapat
dijadikan sebagai referensi tambahan dalam mempelajari studi bunyi bahasa
(fonologi) terutama mengenai perubahan bunyi netralisasi.
3. Memberikan
pengetahuan lebih kepada penulis
1.5
Metode
1. Kami
hanya menggunakan metode pustaka yaitu metode penulisan karya tulis yang hanya
mengambil dari beberapa refrensi yang terkait dengan masalah yang dibahas.
Adapun buku-buku yang digunakan telah tercantum dalam daftar pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Netralisasi
Netralisasi
berasal dari kata netral yang berarti tidak memihak terhadap salah satu pihak
saja. Netralisasi dalam fonologi berarti proses terjadinya suatu bunyi yang
mula-mula secara fungsional berbeda, menjadi tidak berbeda akibat pengaruh
bunyi yang ada disekitarnya. Gejala netralisasi ini masih tergolong dalam
bidang pembicaraan asimilasi dalam arti yang luas. Dimana asimilasi adalah
perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau
hampir sama.
Dalam
bahasa Belanda kata yang dieja hard “keras” dan hart “jantung” pengucapannya
sama yaitu [hart]. Konsonan hambat bersuara (d) dalam bahasa Belanda adalah
tidak mungkin maka diubah menjadi konsonan yang homorgan tak bersuara [t].
Oposisi antara bunyi [t] pada posisi akhir kata yang dieja hard itu adalah
hasil netralisasi. Dan fonem (d) pada kata hard yang bisa berwujud (t) atau (d)
dalam peristilahan linguistik disebut archifonem.
Menurut
(Sanford A.Schane, 1992:61) menyatakan bahwa netralisasi adalah proses yang
didasari atas perbedaan fonologisnya dihilangkan dalam lingkungan tertentu.
Jadi segmen-segmen yang lebih kontras dalam satu lingkungan mempunyai
refresentasi yang sama dalam lingkungan netralisasi.
Netralisaasi
adalah perubahan bunyi fonemis (perubahan yang berkaitan dengan fonem ;
dipandang dari segi fonem) sebagai akibat pengaruh lingkungan untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam contoh ilustrasinnya sebagai berikut:
Dengan
cara menentukan pasangan minimal [baran] ‘barang’ – [paran] ‘parang’ bisa
disimpulkan bahwa dalam Bahasa Indonesia ada fonem /b/ dan /p/. Tetapi dalam
kondisi tertentu fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa batal setidak-tidaknya
bermasalah karena dijumpai bunyi yang sama. Misalnya, fonem/b/ pada silaba
akhir kata adab dan sebab diucapkan [p’] : [adap] dan [sebap’], yang persis
sama dengan pengucapan fonem/p/ pada atap dan usap : [atap’] dan [usap’].
Mengapa bisa terjadi demikian? Hal ini dikarenakan konsonan hambat – letup - bersuara
[b] tidak mungkin dalam posisi koda (konsonan yang terletak disebelah kanan
vokal dalam sebuah silabel). Ketika dinetralisasikan menjadi hambat - tidak
bersuara, yaitu [p], sama dengan realisasi yang biasa terdapat dalam fonem/p/ .
kedua bunyi itu tadi tidak merupakan alofon dari fonem yang sama karena dalam
pasangan minimal telah terbukti bahwa terdapat
fonem /b/ dan /p/. Prinsipnya berarti sekali fonem tetaplah fonem
sangatlah perlu diberlakukan. Kalau toh ingin menyatukan, beberapa ahli fonologi
memberikan usulan konsep archifonem, yang anggotanya adalah /b/ dan /p/. Untuk mewakili kedua fonem
tersebut nama archifonemnya adalah /B/
(huruf b kapital karena bunyi yang paling sedikit dibatasi distribusinya).
Berdasarkan
cara pembentukannya, realisasi fonem konsonan dibedakan sebagai berikut :
a. Konsonan
hambat, dibedakan sebagai berikut :
- konsonan hambat-bilabial, yaitu fonem /p/ dan /b/
- konsonan hambat-dental, yaitu fonem
/t/ dan /d/
- konsonan hambat-palatal, yaitu /c/ dan /j/
- konsonan hambat-velar, yaitu /k/ dan /g/
b.
Konsonan Frikatif, dibedakan sebagai berikut :
- Konsonan frikatif-labio-dental, yaitu /f/ dan /v/
- Konsonan ferikatif-alveolar, yaitu /s/ dan /z/
- Konsonan frikatif-palatal tak bersuara, yaitu /š/
- Konsonan frikatif-velar tak bersuara, yaitu /x/ dan /kh/
- Konsonan frikatif-glotal tak bersuara, yaitu /h/
c.
konsonan getar-alveolar, yaitu /r/
d.
konsonan lateral-alveolar, yaitu /l/
e.
konsonan nasal, dibedakan dalam daerah artikulasinya sebagai berikut :
- konsonan nasal-bilabial, yaitu /m/
- konsonan nasal-dental, yaitu /n/
- konsonan nasal-palatal, yaitu /ň/ - konsonan nasal-velar, yaitu /h/
2.2
Jenis-Jenis
Netralisasi
Adapun
jenis – jenis netralisasi , yakni :
A. Netralisasi Konsonan
Hal
ini dapat dicontohkan dalam bahasa Belanda yang terdapat pada akhir kata yaitu
ada kata yang dieja hard ‘keras’ dan dilafalkan [hart]. Disamping itu ada kata
lain yang dieja hart ‘jantung’ dan diucapkan [hart]. Jadi pelafalan kedua kata
yang dieja berbeda itu adalah sama. Anda tentu bertanya mengapa? Karena dalam
bahasa Belanda, konsonan hambat bersuara seperti [d] itu adalah tidak mungkin.
Oleh karena itu, diubah menjadi konsonan yang homorgan tak bersuara yakni [t].
Oposisi (hubungan antara dua bunyi yang menampakan perbedaan, misalnya antara
oral dan nasal, antara bersuara dan tak bersuara) antara [d] dan [t] adalah
perbedaan bersuara dan tak bersuara. Pada posisi akhir oposisi itu dinetralkan
menjadi bunyi tak bersuara.
Bunyi
bersuara dan tak bersuara dibedakan berdasarkan ada tidaknya getaran pada pita
suara sewaktu bunyi itu diproduksi. Bila pita suara ikut bergetar pada prosese
pembunyian itu, maka disebut bunyi bersuara. Hal ini terjadi karena glotis pita
suara itu terbuka sedikit. Yang termasuk bunyi bersuara antara lain : bunyi
/b/, /d/, dan /g/. Bila pita bersuara tidak bergetar disebut bunyi tak bersuara
hal ini terjadi karena glotis pada pita suara itu agak lebar. Dalam bahasa
Indonesia hanya ada empat buah bunyi tak bersuara, yaitu bunyi /s/, /k/, /p/,
dan /t/.
Bagaimana
kita tahu kalau bunyi /b/ adalah bersuara dan /p/ tidak bersuara ? Mudah saja,
bila dalam sebuah kata yang dimulai dengan bunyi yang bersuara diimbuhan
prefiks me- dan pe-, maka bunyi tersebut akan tetap ada. Sebaliknya bila kata
itu dimulai dengan bunyi tak bersuara diberi prefiks me- dan pe- maka bunyi
tersebut akan hilang, berseyawa dengan bunyi nasal dari kedua prefiks itu.
Simak dengan bagan berikut :
Membantu menyikat
Bantu sikat
Pembantu penyikat
Jadi
adanya bunyi /t/ pada posisi akhir kata yang dieja hard itu adalah hasil
netralisasi. Mungkin disini timbul pertanyaan bukankah masalah hard yang
dilafalkan [hart] dan hart yang lafalnya juga [hart] adalah masalah ejaan? Bisa
dijawab disini bukanlah masalah ejaan (konvensi grafis atau penggambaran bunyi
bahasa dalam satu sistem atau kaidah tulis-menulis), sebab kata hard itu bila
diberi akhiran er akan menjadi harder ‘ lebih keras’, bukan menjadi harter. Padahal kata hart bila diberi akhiran
–en akan menjadi harten ‘banyak jantung’.
Fonem
/d/ pada kata hard yang bisa berwujud /t/ atau /d/ dalam peristilahan linguistik
disebut archifonem. Dalam hal ini biasanya dilambangkan dengan huruf besar /D/.
Mengapa dipilih /D/ dan bukannya /T/? Karena bentuk “aslinya” yang tampak dalam
bentuk harder adalah /d/, bukanya /t/. Dalam bahasa Indonesia ada kata jawab yang
diucapkan /jawap/ atau juga /jawab/; tetapi bila diberi akhiran –an bentuknya
menjadi jawaban. Jadi disini ada arkifonem /B/, yang realisasinya bisa menjadi
/b/ dan /p/.
Contoh
dalam bahasa Bali :
a. Dabdab
= hati-hati (pelan-pelan), jika dilafalkan “dapdap atau dabdab”,
b. Surud
= ngelungsur, jika dilafalkan “surud atau surut”
c. Babad
= kitab sejarah, jika dilafalkan “babad atau babat”
d. Angob
= kagum, jika dilafalkan “angob atau angop”
e. Jegeg
= cantik, jika dilafalkan “jegeg atau jegek”
f. Ajeg
= lestari, jika dilafalkan “ajeg atau ajek”
Archifonem
adalah golongan fonem yang kehilangan kontras pada posisi tertentu dan biasa
dilambangkan dengan huruf besar seperti /D/ yang memiliki alternasi (adanya dua
varian atau lebih, baik distingtif maupun tidak dalam suatu hubungan
paradigmatis atau varian fonem /t/ dan fonem/d/ pada kata [babat] untuk
/babad/. Dalam contoh netralisasi diatas, dapat disimpulkan :
a. Archifonem
/B/ , anggotanya : /b/ dan /p/. Konsonan /b/ dapat menduduki posisi awal,
tengah, an posisi akhir seperti tampak pada kata bulan, sabun, sebab. Namun,
pada posisi akhir sebagai koda posisinya mendua maksudnya dapat sebagai fonem
/b/ dan dapat juga sebagai /p/. Disini, fonem /b/ itu kehilangan kontrasnya
dengan fonem /p/. Fonem yang seperti ni lazim disebut dengan nama archifonem.
Keduanya, /b/ dan /p/ dianggap sebagai anggota dari archifonem /B/. Fonem /b/
merupakan bunyi hambat, bersuara sedangkan fonem /p/ merupakan bunyi hambat,
tak bersuara.
b. Archifonem
/D/, anggotanya : /d/ dan /t/. Konsonan /d/ dapat menduduki semua posisi :
awal, tengah , dan akhir. Namun, pada posisi akhir fonem /d/ lazim dilafalkan
sebagai bunyi [t]. Jadi fonem /d/ dan /t/ disini adalah anggota dari archifonem
/D/. Fonem /d/ merupakan bunyi hambat, bersuara, sedangkan fonem /t/ merupakan
bunyi hambat, tak bersuara.
c. Archifonem
/G/, anggotanya : /g/ dan /k/. Fonem /g/ merupakan bunyi hambat, bersuara.
Sedangkan fonem /k/ merupakan bunyi hambat, tak bersuara.
Dapat
dilihat dalam tabel pembentukan dan klasifikasi fonem konsonan secara sederhana
dibawah ini :
Labial
|
Dental
|
Palatal
|
Velar
|
Glottal
|
||
Hambat
|
Tak bersuara
|
p
|
t
|
c
|
k
|
|
bersuara
|
b
|
d
|
j
|
g
|
||
Geser
|
Tak bersuara
|
s
|
|
h
|
||
Bersuara
|
w+
|
|
y+
|
|||
Nasal
|
m
|
n
|
ñ
|
ŋ
|
|
|
Lateral
|
|
l+
|
|
|
||
Getar
|
|
r+
|
|
|
B. Netralisasi
Vokal
Bahasa Bali mempunyai fonem vokal sebanyak
enam buah : /i/, /e/, /a/, /ǝ/, /u/, /o/. Dua diantara fonem yang memang saling
berbeda satu dengan yang lainnya itu dalam posisi tertentu ternyata bisa
menjadi netral akibat proses morfologis sufiksasi. Fonem yang dimaksud adalah
fonem vokal “a” dan vokal “e” pada posisi terakhir. Suatu kata yang berakhiran
terbuka dengan fonem vokal “e” bila mendapat proses morfologis, sufiks –ne
beralomorf –nne dan –a beralomorf dari
“e” maka fonem “a” dan “e” itu menjadi batas fungsi pembedanya .
Untuk
melihat lebih jelas bahwa proses itu telah terjadi netralisasi, haruslah
ditulis dengan tanda penulisan fonetis archifonem {archifoneme}. Yaitu teknik
penulisan yang menggunakan huruf besar {capital} pada posisi gejala tersebut.
Archifonem
memberi arti bahwa fonem yang ditulisdengan huruf besar itu mempunyai dua
anggota fonem, yaitu fonem yang semula berbeda. Contoh pemakaian archifonem dan
gejala netralisasi :
a. Meja
{mejǝ} + ne = {mejAnn} “mejanya”
b. Jaja
{jajǝ} + ne = {jajAnne} “ kuenya”
c. Tabia
{tabyǝ} + ne = {tabyAnne} “ cabainya”
d. Bapa
{bapǝ} + ne = {bapAnne} “ayahnya”
Fonem
vokal “a” dan “e” yang mula-mula dalam arti fungsional membedakan arti menjadi
netral pada posisi akhir dalam contoh kata diatas. Gejala seperti itulah yang
disebut netralisasi. Tulisan dari contoh diatas kelihatan agak lain karena
ditengah-tengah kata tiba-tiba memakai huruf kapital. Secara ejaan umum tentu
tulisan itu agak janggal dan akan dikatakan salah, tetapi secara teknik khusus
yang berlaku dalam bidang transkripsi fonetis dan bagi kaum linguis tentu
tulisan itu telah terjadi proses netralisasi yang ditulis dengan archifonem.
Gejala
netralisasi dalam bahasa Bali cukup banyak terjadi karena bahasa Bali memang
mempunyai fokal “e” pada distribusi akhir yang cukup banyak dan proses
sufiksasi pada umumnya selalu diikuti proses netralisasi.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Netralisasi
berasal dari kata netral yang berarti tidak memihak terhadap salah satu pihak
saja. Netralisasi dalam fonologi berarti proses terjadinya suatu bunyi yang
mula-mula secara fungsional berbeda, menjadi tidak berbeda akibat pengaruh
bunyi yang ada disekitarnya. Gejala netralisasi ini masih tergolong dalam
bidang pembicaraan asimilasi dalam arti yang luas. Dimana asimilasi adalah
perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau
hampir sama. Contoh dalam bahasa Bali :
a. Dabdab
= hati-hati (pelan-pelan), jika dilafalkan “dapdap atau dabdab”,
b. Surud
= ngelungsur, jika dilafalkan “surud atau surut”
c. Babad
= kitab sejarah, jika dilafalkan “babad atau babat”
d. Angob
= kagum, jika dilafalkan “angob atau angop”
e. Jegeg
= cantik, jika dilafalkan “jegeg atau jegek”
f. Ajeg
= lestari, jika dilafalkan “ajeg atau ajek”
Adapun
jenis – jenis netralisasi , yakni :
A. Netralisasi Konsonan
B. Netralisasi
Vokal
3.2
Saran
Dengan
teselesaikannya karya tulis ini diharapkan mampu mejadi pegangan baru dalam
mempelajari perubahan bunyi dalam fonologi, karena banyak sekali buku yang
menjelaskan dengan tidak efektif mengenai perubahan bunyi yang dapat
menyebabkan banyak terjadi kesalah tanggapan terhadap materi perubahan makna
terutama mengenai netralisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia.
Jakarta : Rieneka Cipta.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta :
Rieneka Cipta.
Iwan Indrawan, Jendra. 2010. Pengantar Linguistik Umum untuk Mahasiswa
Pendidikan Bahasa Bali. Denpasar : Vidia.
Muslich, Masnur. 2011. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan
Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Oka Granoka, Ida Wayan. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali.
Denpasar : Balai Penelitian Bahasa.
Pemerintah Provinsi Bali. 1993. Tata Bahasa Bali. Denpasar : PT.
Upada Sastra.
Sudarno. 1990. Morfofonemik Bahasa Indonesia. Jakarta : Arikha Media Cipta.